Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menganggap pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap komoditas pangan selama ini kontraproduktif dan tidak punya landasan kebijakan yang jelas.
Pasalnya, dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tidak dijelaskan dasar penetapan 11 jenis pangan yang dibebaskan PPN.
"Harus jelas alasannya, kenapa ada barang dan komoditas yang bebas PPN dan ada yang tidak," ujar Direktur Indef Enny Sri Hartati kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enny menuturkan, setiap kebijakan sejatinya memiliki pijakan orientasi atau target skala besar yang jelas. Hal ini penting agar tidak kontraproduktif dan rentan dipermasalahkan, seperti halnya dengan UU PPN dan PPnBM yang digugat oleh seorang ibu rumah tangga dan pedagang di pasar tradisional ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Seharusnya, kata Enny, UU PPN dan PPnBM tidak spesifik membatasi hanya 11 jenis pangan bebas PPN, terlebih tanpa disertai parameter atau indikator yang jelas. Penetapan secara rinci harusnya dibunyikan di peraturan pelaksana dengan memaparkan lebih lanjut alasannya berdasarkan target dan penjelasan umum yang termaktub dalam UU.
Misalnya, kata Enny, alasan dibebaskannya PPN atas 11 jenis pangan karena kontribusinya terhadap pembentukan inflasi besar. Atau bisa juga untuk mendorong industrialisasi, maka sumber bahan bakunya dibebaskan PPN guna mengefisienkan biaya input.
"Jadi harus jelas tujuan besarnya dari pada hanya sekedar mengenakan PPN terhadap komoditas tertentu, yang sebenarnya kalau dibebaskan pajak justru dapat menciptakan multiplier effect yang signifikan terhadap ekonomi," tuturnya.
Hanya Produk OlahanSecara harfiah, lanjut Enny, Pajak Pertambahan Nilai PPN dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas barang yang telah ditingkatkan nilainya atau diolah untuk mendapatkan keuntungan lebih. Karenanya menjadi tidak etis ketika komoditas pertanian atau perkebunan yang baru dihasilkan dari perut bumi langsung dikenakan pajak.
"Di Indonesia, saking ekstensifikasinya hampir semua komoditas yang baru kelaur dari perut bumi dipajaki. Ini tidak masuk akal," ketusnya.
Menurutnya, rendahnya penerimaan perpajakan di Indonesia bukan karena objek pajaknya yang terbatas dan harus diperluas, tetapi karena ketidakmampuan otoritas pajak dalam menegakkan kepatuhan wajib pajak.
Seharusnya, tambah Enny, semua barang mentah atau komoditas yang baru dihasilkan dari perut bumi, serta produk olahan yang sifatnya barang bahan baku industri bebas dari PPN.
"Contoh yang paling spektakuler, kita ingin diversifikasi pangan. PPN untuk gandum nol persen, tapi singkong kena 10 persen. ini tidak lucu, inkonsistensi kebijakan. Indikator dan parameternya tidak jelas, akhirnya ada yang gugat," ucapnya.
(ags/gen)