Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum berniat mengatur suku bunga yang ditawarkan layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech). Menurut Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Pengembangan Kebijakan Strategis OJK, mekanisme pasar yang akan mengatur penetapan suku bunga.
"Tidak perlu diatur bunganya. Karena, ini kesepakatan. Kesepakatan pun dilakukan bukan di ruang tertutup, tapi di ruang publik. Jadi, jangan takut," ujarnya, Kamis (4/8).
Sebagai informasi, keberadaan layanan pinjam meminjam uang yang ditawarkan perusahaan rintisan fintech berkembang pesat. Bunga yang ditawarkan beragam dengan tenor mulai satu hari hingga satu tahun. Skema yang dikenal mengusung konsep peer to peer lending itu kerap menawarkan bunga lebih tinggi dari pasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, skema peer to peer lending menggunakan sistem negosiasi yang demokratis dan sangat terbuka, ketentuan suku bunganya pun dibuat sesuai perjanjian si peminjam dan pemberi pinjaman. Informasi suku bunga pun senantiasa dicantumkan dalam laman penyedia jasa pinjaman.
Modalku dan UangTeman.com, misalnya, perusahaan fintech yang memasang informasi bunga yang ditawarkan dalam laman perusahaan. Dalam menentukan bunga pinjaman, nasabah juga memiliki hak untuk melakukan negosiasi. Jika merasa tidak cocok dengan bunga yang ditawarkan, perseroan dapat melakukan negosiasi ulang hingga nasabah merasa sesuai.
Selain itu, dalam menyeleksi nasabah, perusahaan fintech menerapkan prinsip kehati-hatian demi memitigasi risiko kredit macet. Hal ini yang membuat bisnis fintech peer to peer lending berbeda dengan bisnis layanan keuangan secara tradisional, seperti perbankan.
"Industri keuangan yang kita kenal selama ini adalah industri keuangan yang tidak demokratis, tidak ada negosiasi yang ada langsung pasang harga bunga. Berbeda dengan fintech peer to peer lending," katanya.
Karenanya, Hendriskus menilai, bisnis fintech berskema peer to peer lending memiliki potensi bertumbuh pesat. Kehadiran fintech dianggap sebagai salah satu jawaban atas kebutuhan pembiayaan dalam negeri yang masih sangat besar. Di samping itu distribusi pembiayaan nasional masih belum merata.
Berdasarkan kajian OJK, sekitar 99 persen dari seluruh usaha di Indonesia merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai 60 juta unit dengan kontribusi ke PDB mencapai 60,43 persen. Sementara, jumlah UMKM yang layak di mata perbankan (bankable) cuma mencapai 11 juta unit, sedangkan 49 juta unit lainnya diperkirakan belum mendapat akses pembiayaan.
"Fintech diharapkan mampu membuka akses sumber pembiayaan baru bagi UMKM yang tersebar di Indonesia," terang dia.
Terkait aturan main, ia menegaskan, saat ini, fintech memang perlu regulasi yang mengatur. Regulasi tersebut terkait aktivitas penghimpunan dana masyarakat. Adapun, regulasi yang bakal disusun meliputi dua aspek yaitu melindungi konsumen dan investor.
"Harapannya, ke dua belah pihak tak merasa dirugikan dengan adanya platform itu. Investor harus paham betul risikonya. Jadi ada dua, perlindungan konsumen dan terkait mobilisasi dana yang harus berizin," imbuh dia.
(bir)