Jakarta, CNN Indonesia -- Semangat pemerintah untuk membawa pulang dana yang selama ini diparkir di luar negeri melalui kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnety) dinilai tidak diimbangi dengan ketersediaan produk investasi yang layak dan menguntungkan.
Managing Director Head of Global Markets HSBC Indonesia Ali Setiawan mengatakan realisasi dana repatriasi yang baru mencapai Rp10,9 triliun (per 1 September 2016) belum seberapa jika dibandingkan dengan target pemerintah yang mencapai Rp1.000 triliun.
Sebabnya menurut Ali, produk keuangan yang saat ini disediakan lembaga keuangan baik bank maupun non bank tidak memiliki daya tarik bagi para Wajib Pajak (WP) yang memiliki dana di luar negeri. Terlebih instrumen penampung dalam bentuk dolar jumlahnya terbatas dan imbal hasilnya pun tidak seperti yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, lanjut Ali, mayoritas aset yang dimiliki para WP di luar negeri disimpan dalam bentuk dolar AS. Ditambah adanya pola pikir para WP yang menganggap memegang aset dalam bentuk dolar AS lebih menguntungkan jika dibandingkan dalam bentuk rupiah.
Regulator dan otoritas pun juga tidak bisa semerta-merta mewajibkan dana tersebut harus dikonversi dalam bentuk mata uang rupiah. Pasalnya saat ini Indonesia menganut rezim devisa bebas.
"Mereka (para WP) sudah biasa dan sudah nyaman memegang dolar AS. Kalau pemerintah berekspektasi ada Rp1.000 triliun dana repatriasi masuk, itu uangnya akan diparkir di mana? Saya rasa kesiapannya masih kurang," ujar Ali, Kamis (1/9).
Jika menilik Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK. 08/2016 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 8 Agustus 2016, maka ada beberapa instrumen investasi yang ditetapkan pemerintah sebagai wadah penampung duit repatriasi yang memperoleh pengampunan pajak.
Instrumen tersebut adalah medium term notes, sukuk, saham, unit penyertaan reksa dana, efek beragun aset, unit penyertaan dana investasi real estat, deposito, tabungan, giro, asuransi, dana pensiun, modal ventura, dan kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa berjangka di Indonesia.
Sayangnya, menurut Ali instrumen-instrumen tersebut mayoritas diterbitkan dalam denominasi rupiah. Adapun jika dalam bentuk dolar itu hanya beberapa namun dengan imbal hasil yang kecil. Untuk deposito misalnya, produk ini selalu menjadi produk jualan para bankir dalam negeri untuk menarik dana repatriasi.
Namun jika dilihat dari imbal hasilnya, maka untuk bunga deposito dalam bentuk valuta asing (valas) saat ini mayoritas deposito dengan tenor 1-12 bulan diganjar nyaris mencapai 0 persen. Nilai tersebut berbeda jauh dengan bunga deposito rupiah yang mencapai 4-6 persen.
Begitupun dengan instrumen saham yang ditawarkan oleh pasar modal dalam negeri. Saham yang diperdagangkan di lantai bursa mayoritas diganjar dengan kurs rupiah dan bukan dolar AS. Sementara jika dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong, beberapa instrumen investasi yang ditawarkan oleh pasar sekunder jenisnya lebih beragam dan memberikan keuntungan yang lebih tinggi.
"Jadi ibaratnya, kalau konglomerat bawa duit masuk ke Indonesia tapi tidak bisa menghasilkan imbal hasil itu buat apa? Sementara kalau investasi di luar itu bisa menghasilkan sesuatu," ujarnya.
Untuk itu Ali mengusulkan pemerintah dan otoritas keuangan harus mempercepat diversifikasi wadah penampung repatriasi dalam bentuk valas. Dalam jangka pendek, penerbitan surat utang dalam bentuk valas (global bond) pun dinilai bisa menjadi alternatif instrumen andalan yang bisa ditawarkan kepada para WP. Apalagi obligasi pemerintah dinilai memiliki tingkat risiko yang rendah dengan imbal hasil yang cukup menjanjikan.
"Kalau pemerintah dan korporasi banyak menerbitkan surat utang untuk infrastruktur dan uangnya masuk ke belanja infrastruktur investor pun akan
happy," jelasnya.
Namun, lanjut Ali, perlu diketahui tidak semua investor tertarik menaruh modal di sektor infrastruktur. Pasalnya keuntungan berinvestasi di sektor infrastruitur baru bisa dinikmati dalam waktu yang panjang. Bagi sebagian investor yang memiliki kesabaran pendek, produk investasi sederhana dan bertenor pendek pun akan tetap menjadi pilihan utama.
"Oleh sebab itu pemerintah dan OJK harus cepat-cepat mengakomodasi dana yang masuk ke Indonesia melalui instrumen yang bisa menampung, jaminan imbal hasil yang bisa diberikan sehingga investor ini bisa mau masuk ke Indonesia. Kalau ini bisa dipenuhi pasti di kuartal II periode pengampunan akan lebih baik," ujar Ali.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak per 1 September 2016, realisasi uang tebusa tax amnesty telah mencapai Rp3,63 triliun. Tebusan tersebut berasal dari berbagai sumber yakni WP pribadi UMKM dan non UMKM, WP badan UMKM dan non UMKM. Sementara untuk deklarasi harta, Ditjen Pajak mencatat ada total harta sebesar Rp174 triliun yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
(gir/gen)