Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan pemerintah mendorong stabilisasi harga pangan melalui wacana penerapan aturan harga batas atas dan harga batas bawah komoditas pangan mendapatkan dukungan dari sejumlah pelaku usaha.
Pelaku usaha bawang merah yang tergabung dalam Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI), misalnya. Mereka menilai, kebijakan harga batas atas dan bawah penting untuk diterapkan guna mengontrol harga yang selama ini sulit ditekan.
"Setuju, karena selama ini harga sulit dikontrol. Semoga kali ini bisa terasa implementasinya asalkan pemerintah bisa menerapkan manajemen stok produksi, baik melalui pembibitan maupun tenaga kerja," tutur Sekretaris Jenderal ABMI Ikhwan Arif kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait manajemen stok, khususnya untuk komoditas bawang merah, Ikhwan melanjutkan, pemerintah harus bisa menjamin pasokan bawang merah sekitar 80 ribu ton per bulan.
Sedangkan terkait implementasi, ABMI mengaku siap menjadi mitra pemerintah untuk turut mengawasi pelaksanaan kebijakan nantinya. Meskipun, hingga saat ini, asosiasi terkait belum mendapatkan rancangan kebijakan harga batas yang telah disiapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
"Belum dapat rancangannya, tapi sudah dengar informasinya. Kalau pemerintah mau gandeng kami, kami siap tapi kalau pemerintah mampu sendiri ya tidak apa," katanya.
Adapun dari segi pengawasan, ia menegaskan, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak menekan pedagang eceran. Pasalnya, harga di atas batas rentan terjadi di kalangan pedagang eceran.
"Riskan ke pengecer, karena biasanya pedagang besar tidak dikenakan, harga biasanya lebih tinggi di eceran. Jadi, harus dilihat sejelas-jelasnya," imbuh Ikhwan.
Di sisi lain, ia menilai, kebijakan penetapan harga batas atas dan bawah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kepada petani bahwa hasil pertaniannya akan terbeli dengan harga yang layak. Hal ini tentunya memicu petani dalam meningkatkan produktivitasnya agar pemerintah dapat mengejar target swasembada pangan.
Sementara, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) masih mempertanyakan rencana pemerintah mengatur harga sejumlah komoditas pangan. AGI menilai, kebijakan harga batas atas dan bawah harus bisa diimplementasikan dengan tepat oleh pemerintah melalui perhitungan batas yang sesuai.
"Tergantung batasnya bagaimana, misal batas atas gula Rp12.000 per kilo gram (kg), petani tebu akan merugi. Karena, harga tersebut barulah harga jual dari petani, belum termasuk biaya distribusi dan lainnya," ujar Direktur Eksekutif AGI Agus Pakpahan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (14/9).
Adapun dalam menentukan harga batas atas dan bawah gula, pemerintah perlu duduk bersama dengan petani tebu. Soalnya, harga produksi dari petani tebu menjadi dasar perhitungan ke depan.
Kemudian, Agus menambahkan, tidak sekadar memperhitungkan harga komoditas di dalam negeri, pemerintah juga perlu memperhitungkan harga jual suatu komoditas di beberapa negara lain.
Pasalnya, sebagian komoditas pangan masih diimpor oleh Indonesia, sehingga apabila lebih banyak komoditas impor dengan harga lebih rendah tentu akan sangat memengaruhi harga komoditas lokal. Namun demikian, peredaran komoditas impor tersebut, tidak bisa serta merta dimasukkan ke dalam perhitungan harga batas atas dan bawah.
"Pemerintah perlu lihat perbandingan retail price di negara lain. Jangan mematok dengan harga pasar dunia karena itu hanya rata-rata," terang Agus.
Ambil contoh, harga gula di Thailand lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga gula dunia. Padahal Thailand eksportir kedua terbesar di dunia. Kemudian, harga produksi gula di India dan Brazil juga cukup tinggi, namun pemerintah negara tersebut dapat memberikan subsidi lebih untuk menekan harga produksi.
Hal inilah yang harus dilakukan pemerintah untuk mengontrol harga sejak tahap produksi. Terkait mekanisme evaluasi harga batas, Agus mengklaim setuju karena harga gula kerap terpengaruh perubahan harga di dunia, sehingga pemerintah perlu menerapkan evaluasi harga batas.
(bir)