Jakarta, CNN Indonesia -- Rasio kredit bermasalah (
nonperforming loan/NPL) sektor pertambangan naik nyaris dua kali lipat pada Juli 2016 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Statistik Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melansir, NPL sektor pertambangan sebesar 6,77 persen pada Juli 2016.
NPL sektor pertambangan tersebut melampaui rata-rata rasio kredit macet industri perbankan yang hanya sebesar 3,18 persen atau naik 48 basis poin (bps) dari periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 2,70 persen.
Kondisi ini tidak terlepas dari rontoknya harga komoditas tambang akibat kelebihan pasokan hasil tambang. Walhasil, para penambang mulai terkendala dalam menyelesaikan kewajiban bayar kreditnya ke bank.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti dilansir Reuters, akhir pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, ia juga memperhatikan kenaikan NPL. Namun demikian, tak dapat dipungkiri, saat ini sektor pertambangan menerima hantaman keras.
"Beberapa bank penyalur kredit telah menyiapkan unit khusus untuk meningkatkan kualitas kredit mereka. Tetapi, ada juga bank yang masih membutuhkan lebih banyak waktu," tutur Agus.
PT Bank Mandiri Tbk, misalnya, menyebutkan akan memperkuat manajemen risiko dan merestrukturisasi pinjaman tertentu. Bank pelat merah nomor wahid ini bahkan telah meningkatkan pencadangannya untuk mengantisipasi kredit macet.
Sementara, PT Bank Central Asia Tbk menerangkan, manajemen bahkan memiliki eksposur bisnis pendukung sektor pertambangan, seperti transportasi dan alat berat. Namun, Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama BCA menjelaskan, perseroannya masih mampu menjaga rasio NPL di bawah 1,75 persen.
Kredit Tumbuh Single DigitAdapun, per Juli 2016, kredit industri perbankan hanya mencetak pertumbuhan single digit, yaitu 7,57 persen dari Rp3.868 triliun pada periode yang sama tahun lalu menjadi sebesar Rp4.161 triliun.
Raihan tersebut sesuai dengan prediksi BI yang telah memangkas pertumbuhan kredit bank dari sebelumnya 10-12 persen menjadi hanya 7-9 persen. Ini merupakan revisi kedua kali bank sentral, setelah sempat memproyeksi pertumbuhan di kisaran 12-14 persen.
BI menilai pertumbuhan penyaluran kredit bank tahun ini tidak akan sebaik tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pemangkasan proyeksi juga sebagai dampak dari pemangkasan pertumbuhan ekonomi nasional dari 5-5,4 persen menjadi 4,9-5,3 persen.
Berbeda dengan OJK yang masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan kredit di kisaran 11 persen dampai 12 persen. Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK mengungkapkan, OJK belum merevisi target pertumbuhan kredit bank karena masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi pelaksanaan dari Rencana Bisnis Bank (RBB).
"Tunggu sampai akhir September. Saya harus evaluasi implementasi RBB dari masing-masing bank. Pertumbuhan year to date memang masih rendah, tetapi beberap bank yakin RBB bisa diimplementasikan," pungkasnya belum lama ini.
(bir/gen)