Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mengkaji kembali rencana relaksasi ekspor mineral yang akan diterapkan mulai tahun depan. Terutama menyangkut ekspor nikel berkadar 1,8 persen yang sebelumnya sempat masuk dalam daftar calon komoditas yang akan dilonggarkan izin ekspornya.
Luhut Binsar Pandjaitan, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, pemerintah akan lebih intensif mengkaji untung rugi dalam melakukan relaksasi ekspor nikel. Ini dilakukan setelah Luhut mendapat laporan bahwa ore nikel dengan kadar 1,8 persen ke bawah ternyata bisa diproduksi di dalam negeri.
"Ada yang bilang, ore nikel dengan kadar 1,7 persen ternyata di sini sudah ada smelter-nya. Kami sekarang lagi menghitung kembali, mana saja yang bisa kami berikan relaksasi yang tentu saja dengan biaya ekspor lebih tinggi," ujar Luhut ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Selasa (11/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut melanjutkan, pertimbangan lain yang membuat pemerintah mengkaji lagi keputusan pelonggaran ekspor adalah kemampuan industri dalam negeri dalam menyerap hasil smelter. Ia memberi contoh jenis nikel yang sudah bisa dikerjakan hingga menjadi baja tahan karat (
stainless steel) sebagai komoditas yang tidak sepatutnya diberikan relaksasi ekspor.
Kendati demikian, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman ini tidak mau gegabah. Tak hanya nikel, ia berjanji akan melakukan analisis untung-rugi relaksasi ekspor untuk setiap komoditas pertambangan.
"Ini yang sedang kami kaji dan kami harap bisa segera selesai semuanya," lanjut Luhut.
Tak hanya itu, Luhut juga mengatakan bea keluar ekspor mineral juga akan disesuaikan berdasarkan jenis komoditas dan tingkat kemajuan pembangunan smelter. Kebijakan ini terbilang berbeda dengan peraturan sebelumnya, di mana bea keluar hanya dihitung berdasarkan perkembangan pembangunan smelter.
Sebagai informasi, peraturan bea keluar ini sebelumnya tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Dalam beleid tersebut, jika kemajuan pembangunan atau serapan dana investasi smelter antara 0-7,5 persen, maka bea keluar yang dibayarkan sebesar 7,5 persen. Apabila realisasi progres smelter antara 7,5-30 persen, maka membayar bea keluar 5 persen. Sedangkan progres pembangunan lebih dari 30 persen, maka dibebaskan dari bea keluar.
"Dan sampai sekarang belum diomongkan dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Karena kajian terkait untung rugi komoditas yang perlu dapat relaksasi saja masih kami bicarakan," lanjutnya.
Kebijakan relaksasi ekspor ini rencananya akan masuk ke dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2014. Beleid ini disiapkan untuk mengakomodasi perusahaan tambang yang sedang membangun smelter namun terkendala di sisi arus kas (
cash flow).
Selain nikel, pemerintah mempertimbangkan untuk membuka keran ekspor bagi bauksit dan mineral jarang (
rare earth). Pemerintah mengancam akan mencabut izin ekspor Izin Usaha Pertambangan (IUP) jika smelter yang tengah dibangun tidak menunjukkan progress setiap enam bulan sekali.
(ags)