ANALISIS

Biaya Siluman Izin Konstruksi dan Ledakan Amarah Jokowi

Yuliyanna Fauzi | CNN Indonesia
Jumat, 28 Okt 2016 16:03 WIB
CNNIndonesia.com coba menterjemahkan ketidakpuasan Presiden Joko Widodo atas lonjakan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia yang dirilis Bank Dunia.
Presiden Joko Widodo meminta peran aktif gubernur berantas pungutan liar. (CNN Indonesia/Christie Stefanie).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pekan ini, Bank Dunia merilis daftar kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EODB) 2017 yang menaikkan peringkat Indonesia dari posisi 106 menjadi 91.

Pemerintah dan masyarakat Indonesia seharusnya boleh berbangga atas capaian ini. Pasalnya, loncatan 15 tingkat yang dilakukan tersebut merupakan peningkatan tertinggi yang pernah diraih negara ini.

Tercatat, pada 2012, Indonesia terdampar di posisi 129 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia. Kemudian naik satu strip ke posisi 128 di tahun 2013.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selang setahun, Indonesia naik 11 peringkat ke urutan 117 dan kembali naik tiga peringkat menjadi 114 di tahun 2015. Dua tahun berikutnya, Indonesia menempati posisi 106 hingga akhirnya bertengger di nomor 91.

Capaian tersebut nampaknya membuat percaya diri para menteri bidang ekonomi di Kabinet Kerja. Terlebih, Indonesia mampu membalap negara berkembang lain, seperti Brazil yang bertengger di posisi 123 dan India yang lebih jauh lagi, di posisi 130.

Euforia membuncah karena keberhasilan Indonesia melompat, ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga terdekatnya. Bahkan, ada beberapa negara yang terperosok.

“Malaysia turun lima peringkat, Singapura turun satu, Thailand hanya naik tiga peringkat, Brunei naik 12 peringkat, dan Vietnam delapan peringkat,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Rabu (26/10).

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong, sampai berani mengklaim bahwa lonjakan 15 tingkat tersebut merupakan rekor baru yang dicatat oleh Bank Dunia.

“Belum pernah ada satu negara pun di dunia yang loncat sampai 15 peringkat dalam indeks. Jadi kita ini memecahkan rekor dunia,” kata Thomas, kemarin.

Sayang seribu sayang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak terkesima dengan laporan angka statistik yang disodorkan para pembantunya. Ia marah karena para menteri terlalu berpuas diri, cepat melupakan target peringkat EODB yang diinstruksikannya di awal memerintah negeri. Jokowi mau, Indonesia masuk kelompok 40 besar negara-negara di dunia yang paling bersahabat terhadap investor.

“Saya sampaikan ke Kepala BKPM, saya minta ranking di bawah 40," tegas Jokowi.

Mantan Walikota Solo menilai, Indonesia seharusnya bisa meloncat lebih tinggi dalam survei EODB 2017. Dengan catatan, para menteri dan pejabat negara lainnya tidak asyik bekerja sendiri dan melupakan koordinasi dengan koleganya.

"Saya belum melihat ada loncatan dalam dua tahun ini. Padahal (investor) yang ngantri banyak. Ini menjadi evaluasi semua," katanya.

Bila ditelisik, berdasarkan EODB 2017, Indonesia mengalami perbaikan pada tujuh dari 10 indiktor, yakni indikator Memulai Usaha (naik 16 peringkat), Kemudahan Memperoleh Sambungan Listrik (naik 12 peringkat), Pendaftaran Properti (naik lima peringkat), Kemudahan Memperoleh Pinjaman (naik delapan peringkat), Pembayaran Pajak (naik 11 peringkat), Perdagangan Lintas Batas (naik lima peringkat), dan Penegakan Kontrak (naik lima peringkat).

Sementara tiga indikator yang justru menurun, yaitu Proses Perizinan Konstruksi (turun tiga peringkat), Perlindungan terhadap Investor Minoritas (turun satu peringkat), dan Penyelesaian Kasus Pailit (turun dua peringkat).

"Dari 10 blok, kita ada tujuh perbaikan tapi tiga lagi tidak ada perbaikan. Kemarin kita sudah upayakan tapi mereka harus lihat hasil implementasi di lapangan dulu. Jadi mungkin masuk tahun depan," ujar Darmin Nasution.

Satu indikator yang paling disayangkan penurunannya ialah Proses Perizinan Konstruksi yang meorosot dari peringkat 113 menjadi peringkat 116 pada EODB 2017. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, indikator ini tak memiliki pergerakan yang berarti.

Padahal selama setahun belakangan, pemerintah mengklaim telah memangkas sejumlah perizinan melalui deregulasi yang diterbitkan dalam paket kebijakan ekonomi yang jumlahnya sudah mencapai 13 paket.

Belum lagi, pemerintah menyiapkan satu paket khusus untuk menderegulasi sejumlah peraturan dan perizinan pembangunan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) guna mengejar target satu juta rumah, hasil janji manis Jokowi.

Menunggu Peraturan Pemerintah

Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kemudian menyebut penerbitan paket kebijakan ekonomi jilid XIII soal rumah murah bagi MBR dapat menjadi solusi percepatan pembangunan atap berteduh bagi wong cilik.

Pasalnya, mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pemerintah ingin membahagiakan sekitar 17,3 persen atau 11,8 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri sampai saat ini.

Namun, kerikil yang dihadapi pemerintah adalah tak adanya minat dari pengembang untuk diajak membangun rumah kelas bawah karena proses perizinan pembangunan yang lama dan biaya yang besar.

Darmin bilang, penggabungan dan percepatan izin pembangunan rumah dapat memangkas anggaran perizinan. Bahkan perhitungannya tak kalah menggiurkan bila dibandingkan dengan diskon toko-toko di pusat perbelanjaan, up to 70 persen.

Biaya Siluman Izin Konstruksi dan Ledakan Amarah JokowiIlustrasi pembangunan apartemen. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Tak hanya itu, katanya, 33 izin pembangunan sudah dipangkas menjadi 11 izin saja. Lalu, pembangunan MBR bisa dipercepat dari 769 hari sampai 981 hari menjadi secepat kilat, hanya 44 hari.

Kemudian, pengurusan sejumlah surat, mulai dari Surat Pelepasan Hak (SPH), pengukuran dan pembuatan peta bidang tanah, penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pemecahan sertifikat atas nama pengembang hingga pemecahan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dipangkas jadi secepat mungkin.

Rencana dan niat boleh jadi sebaik malaikat, namun tanpa implementasi, harapan tinggalah harapan. Pasalnya sejak diluncurkan akhir Agustus lalu, pemerintah tak kunjung melengkapi sejumlah deregulasi tersebut dengan aturan pendukung yang terbit dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI) Eddy Hussy mengatakan, belum ada terobosan yang signifikan berdampak untuk perizinan konstruksi sektor properti. Termasuk janji manis Darmin yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi XIII.

"Tekad pemerintah besar pada paket kebijakan XIII tapi PP belum turun juga. Jadi, implementasinya masih nihil. Padahal daerah sangat butuh pedoman tersebut agar sinkron dengan pusat," ungkap Eddy saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (27/10).

Bersamaan dengan niat pemerintah membangun 1 juta rumah bagi MBR dengan percepatan perizinan konstruksi, REI meminta, ke depannya pemerintah juga memberikan percepatan izin untuk properti real estate, seperti perumahan hingga apartemen agar indikator Proses Perizinan Konstruksi Indonesia dapat meningkat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, perizinan konstruksi di Indonesia, tak cukup hanya sekadar dipangkas dan dipercepat. Namun, perlu dibangun dengan sistem yang terintegrasi online yang membuat data tidak kabur, transparan, serta cepat.

"Untuk IMB saja, di Singapura itu sistemnya online. Online-nya benar-benar online, semua langsung upload, registrasi sampai hasilnya diberikan lewat online. Jadi, tidak campuran seperti kita, online kemudian masih ada secara fisiknya juga," kata Ali.

Belum Satu Komando

Terlepas dari iming-iming pemangkasan dan percepatan pemberian izin pembangunan dari pemerintah, sejumlah pengembang masih mengeluhkan pusat komando yang tak sinkron antara Istana Negara dengan raja-raja kecil di daerah.

Komando yang diteriakkan pemerintah pusat akan mengacu pada Program Terpadu Satu Pintu (PTSP) rupanya masih menyisakan sejumlah masalah dan sinergi yang berantakan.

Wahyu, seorang manager pemasaran yang bekerja di perusahaan konstruksi swasta mengisahkan, PTSP belum maksimal memberikan dampak untuk perizinan proyek di daerah padahal telah dijanjikan kemudahan oleh pusat.

"Belum mudah, padahal sejumlah proyek itu banyaknya di daerah tapi perizinannya belum sinkron, masih berbelit, untuk online juga belum bisa sepenuhnya, mungkin Sumber Daya Manusia (SDM)-nya belum memadai," jelas Wahyu.

Tak hanya soal PTSP, persoalan komando juga masih menjadi kendala antar asosiasi pengembang atau konstruksi. Pasalnya, terlalu banyak asosiasi yang biasanya turut memberikan rekomendasi yang dapat memuluskan izin dinilai belum memiliki standar yang sama.

Mantan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (BPP Gapensi) Periode 2009-2014 Soeharsojo menilai, jumlah asosiasi pengembang atau konstruksi yang terlalu banyak justru memusingkan pemerintah.

"Kalau di China, mereka hanya punya dua, satu yang urus soal izin konstruksi di dalam negeri dan satu lagi yang urus kontraktor dari luar negeri, itu lebih efisien," kata Soeharsojo.

Revisi UU Konstruksi

Selain masalah kebijakan yang tak dibarengi dengan aturan yang mengikat dan masih belum satu komandonya pemberian izin hingga rekomendasi, sejumlah asosiasi melihat, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi masih belum diselesaikan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Lembaga Pengembang Jasa Konstruksi (LPJK) mengungkapkan, revisi UU Jasa Konstruksi memang lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum bagi pekerja konstruksi.

Namun begitu, Ketua Umum LPJK Tri Widyanto meminta pemerintah juga memberikan sejumlah kepastian yang berdampak pada proses perizinan konstruksi di Indonesia.

"Kami ingin pemerintah melihat kinerja lembaga konstruksi yang efektif, bila tidak efektif, bisa disederhanakan rantainya. Kemudian, pemerintah harus pula mengatur soal risiko kegagalan bangunan yang selama ini menjadi perhitungan pemberian izin konstruksi," jabar Tri.

Soal risiko kegagalan bangunan, Tri menambahkan, indikator ini menjadi salah satu pertimbangan saat asosiasi pengembang memberikan rekomendasi dan saat pengembang mengajukan izin.

Namun, sampai saat ini, penanggulangan soal risiko kegagalan bangunan yang diperhitungkan tiap asosiasi dan pengembang masih berbeda-beda sehingga perlu diseragamkan.

Selain itu, Tri juga meminta pemerintah dan DPR melibatkan atau setidaknya mendengar berbagai masukan dari para asosiasi dan perusahaan konstruksi.

"Walau itu urusan pemerintah dan DPR, saya rasa, kami perlu juga dilibatkan, didengarkan," katanya.

Aliran Biaya Siluman

Indikator Proses Perizinan Konstruksi yang menurun, boleh jadi, tak lepas dari banyaknya saluran yang harus dialirkan biaya-biaya siluman oleh pengembang untuk mempermulus perizinan.

"Kalau ditanya apakah pungutan liar sudah bersih, tentu jawabannya belum. Justru makin variatif dan pos-nya beragam. Apalagi di daerah," ucap Wahyu.

Untuk pungutan liar (pungli), Wahyu mengatakan, lebih banyak terjadi di proyek-proyek pemerintah yang dikerjakan di daerah atau luar pusat.

Biaya Siluman Izin Konstruksi dan Ledakan Amarah JokowiProyek tol Becakayu. (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)

Pasalnya, proyek di pusat mendapat 'tatapan dari banyak mata' sementara untuk proyek di daerah, lebih mudah untuk 'bermain mata'. Bahkan ia mensinyalir, sejumlah proyek pembangunan infrastruktur yang digalakkan Presiden Jokowi tak lepas dari bidikan pemberi izin di tingkat pemerintah daerah (pemda).

"Sebut saja, perusahaan pengembang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), itu sumbernya, itu sarang bidikan. Apalagi mereka dapat banyak dari pemerintah, titipan kecil pasti ada. Misalnya proyek Rp10 miliar, ya setidaknya ada Rp500 juta atau Rp300 juta yang diberikan," ujar Wahyu.

Sementara untuk pos perizinan kontruksi yang dikenakan biaya siluman, lanjut Wahyu berasal hampir di setiap pos, mulai dari pos paling bawah sampai yang paling atas.

Adapun pemberian biaya siluman tak bisa dibendung pula oleh pengembang. Pasalnya, daripada proyek molor terlalu lama, sejumlah pengembang pikir lebih baik diberi pelumas agar izin konstruksi licin diberikan.

Hal ini juga dibenarkan oleh IPW yang menilai, biaya siluman bukan saja diminta oleh pemberi izin bahkan sering kali pengembang sudah menyiapkan amunisi pembiayaan dalam rancangan anggaran proyek.

"Biasanya dalam biaya tak terduga tapi ada juga yang dimasukkan ke beberapa pos pengeluaran, misalnya biaya hiburan atau biaya izin memang langsung dilebihkan," jelas Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda.

Terkait pos perizinan, Ali mengatakan, biaya siluman biasanya muncul dari pos-pos yang memeriksa sertifikat, pengukuran lahan, hingga pengajuan izin. Sementara, untuk persenan yang diberikan, Ali juga mengatakan nilainya bervariatif.

"Normalnya, izin hanya dikenakan 2,5 persen sampai 3 persen, dengan pungli bisa naik jadi 10 persen sampai 15 persen. Tapi ada suatu daerah di Sumatera, biaya silumannya mencapai 30 persen dari harga rumah yang dijual," papar Ali.

"Bahkan yang lucu, saat biaya siluman ini menyasar proyek rumah murah bagi rakyat. Hasilnya, anggaran proyek sudah seperti bangun real estate dan apartemen, bukan setara rumah murah lagi," imbuhnya.

Sebagai contoh, andai sebuah pengembang mematok harga jual rumah seharga Rp100 juta, harga perizinan seharusnya hanya Rp2,5 juta. Tapi dengan adanya biaya siluman, biaya izin bisa membengkak mencapai Rp10 juta sampai Rp15 juta, belum lagi bila benar sampai 30 persen atau sekitar Rp30 juta hanya untuk izin konstruksi.

Adapun program PTSP yang digalakkan pemerintah, dinilai Ali tak kuasa meredam munculnya permintaan biaya siluman yang mengalir ke pos-pos yang salah.

Siapkan Ganti Rugi

Tak kunjungnya izin konstruksi diberikan, jelas memberikan dampak pada molornya sejumlah proyek dan penambahan anggaran yang melar ke segala arah. Pasalnya, saat izin terlambat diberikan, keterlambatan ini bukan hanya hitungan minggu tapi menyentuh bulanan hingga tahun.

Wibisono, Kepala Hubungan Investor Agung Podomoro Land menguraikan, pembengkakan anggaran terjadi mulai dari perubahan harga dari material yang digunakan, penambahan gaji karyawan, hingga denda atau ganti rugi yang harus diberikan kepada calon pembeli.

"Misalnya dalam proyek pembangunan apartemen yang dijual seharga Rp1 miliar, ditargetkan selesai tiga tahun, ternyata molor setahun. Maka kita harus ganti rugi 0,5 persennya, kita tambah Rp5 juta untuk dikembalikan," tutur Wibisono.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya Tbk Suradi Wongso mengungkapkan, setidaknya kontraktor harus memberikan pengembalian biaya kepada konsumen bila proyek terlambat selesai dalam kurun waktu 13 bulan.

"Biasanya persenannya, sesuai laju inflasi dari total harga jual unit," katanya singkat.

Selanjutnya, perhitungan yang berbeda datang dari IPW. Menurut Ali, ganti rugi yang harus dibayarkan senilai dari apa yang belum tuntas dikerjakan oleh kontraktor.

"Misalnya senilai Rp1 miliar, yang dibangun baru 70 persen, berarti yang dibayarkan dari sisanya itu, 30 persen," ucapnya.

Sejumlah permasalahan dalam proses permohonan perizinan konstruksi ini, kemungkinan besar yang menjadi alasan utama murkanya Jokowi atas peringkat Indonesia dalam EODB 2017. Apa yang bagus di atas kertas, tidak selamanya bagus dan mulus ketika diimplementasikan di lapangan.

Mental korupsi, plus birokrat yang menghitung pamrih saat melayani harus dibasmi. Karena untuk memperbaiki satu indikator EODB saja, ada banyak tugas yang harus tuntas.

Bukan hanya soal kebijakan yang belum terimplementasikan, namun juga soal biaya siluman yang belum mampu dibersihkan pemerintah. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER