Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal III 2016 sebesar 5,02 persen (year on year/yoy) menjadi bukti masih lemahnya ekonomi Indonesia.
Kondisi ini menurutnya berkorelasi dengan masih rendahnya realisasi penerimaan pajak sampai Oktober 2016 yang baru sebesar Rp870,95 triliun atau 64,27 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar Rp1.355,2 triliun.
"Data pertumbuhan ekonomi kuartal III menunjukkan denyut ekonomi Indonesia yang melemah, masih melemah kalau dilihat sejak 2015," tutur Sri Mulyani saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan Nasional DJP di Kantor Pusat DJP, Senin (7/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih lesunya kegiatan ekspor dan impor pada sembilan bulan tahun ini membuat diakui Sri Mulyani mulai membuatnya khawatir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencacat, secara tahunan, pertumbuhan ekspor barang dan jasa kuartal lalu masih minus 6 persen dan impor barang dan jasa negatif 3,87 persen.
"Nanti akan terlihat dampaknya pada penerimaan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai yang berhubungan dengan ekspor-impor yang negatif," ujarnya.
Sektor investasi, yang diharap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia bisa jadi motor pertumbuhan ekonomi, ternyata hanya bisa tumbuh 4,06 persen (yoy).
"Ini termasuk yang cukup lemah karena kemarin dari Otoritas Jasa Keuangan mendengar bahwa kredit perbankan juga cuma tumbuh sekitar 5 persen," keluhnya.
Sementara itu, realisasi belanja pemerintah juga minus 2,97 persen akibat pemangkasan dan penundaan pencairan anggaran belanja negara untuk mengimbangi potensi penerimaan pajak yang diperkirakan meleset (
shortfall) sebesar Rp218 triliun dari target.
Untungnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 5,01 persen pada kuartal lalu dinilai Sri Mulyani masih cukup kuat sehingga bisa menjadi potensi sumber penerimaan pajak.
Sri Mulyani sendiri mengaku telah mendiskon target uang yang harus dikumpulkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) tahun ini sebesar Rp218 triliun dari Rp1.355 triliun dalam APBNP 2016 menjadi Rp1.137,2 triliun. Hal itu dilakukan setelah memperhitungkan risiko perlambatan perekonomian global dan perdagangan internasional.
"Coba kalau Menterinya tidak ganti, Anda (pegawai DJP) harus mengumpulkan Rp218 triliun lagi," candanya.
(gen)