ANALISIS

#RushMoney2511 dan Protes Macan Ompong

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Jumat, 18 Nov 2016 14:55 WIB
Rush money sebagai protes kelompok tertentu yang dimaksudkan untuk menggoyang perekonomian nasional di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rush money sebagai protes kelompok tertentu yang dimaksudkan untuk menggoyang perekonomian nasional di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). (REUTERS/Darren Whiteside).
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana aksi unjuk rasa besar-besaran gelombang kedua pada 25 November, menyusul demonstrasi 4 November lalu, diwarnai dengan ajakan agar masyarakat berbondong-bondong menarik uang mereka di bank. Ajakan ini sebagai protes kelompok tertentu menuntut Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, petahana Gubernur DKI Jakarta, diadili untuk dugaan kasus penistaan agama.

Sekadar informasi saja, Ahok ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama oleh Kepolisian RI, Rabu, (16/11). Namun demikian, hingga kini, Ahok masih melanjutkan pencalonannya dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Hal ini belum melegakan kelompok tertentu, seperti yang tersebar di berbagai media sosial, mereka menuntut Ahok dipenjara dan mundur dari pesta perebutan kursi orang nomor wahid di Jakarta.

Makanya, ajakan menarik uang pada 25 November santer dan seliweran di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Ajakan menarik uang secara besar-besaran di seluruh bank ini dikenal juga dengan rush money. Rush money dimaksudkan untuk menggoyang perekonomian nasional di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah tidak bisa menyepelekan ancaman rush money. Pasalnya, industri perbankan bersifat sistemik. Tengok saja, krisis yang membuat 16 bank gulung tikar pada krisis keuangan tahun 1998/1999 silam. Isu-isu negatif dan lemahnya kepercayaan masyarakat membuat nasabah dari bank-bank tersebut panik.

Alhasil, terjadi gelombang penarikan uang besar-besaran ketika itu. Kondisi ini semakin diperparah oleh krisis yang melanda. Perbankan berdarah-darah karena beban utang dan dampak dari depresiasi kurs (nilai tukar mata uang) yang dahsyat.

Nah, imbauan rush money kali ini sedikit banyak juga ikut mengusik stabilitas sistem keuangan nasional. Ditambah, ekonomi dunia tengah melambat yang memengaruhi ekonomi negara-negara kawasan Asia, tak terkecuali Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad kompak mengecam hasutan tersebut sebagai aksi tidak bertanggungjawab dan tak berdasar.

Darmin bahkan menyebut, koordinator aksi Rush Money 25 bukanlah negarawan lantaran telah menyebarkan kabar yang tidak benar yang berpotensi membuat masyarakat dan investor khawatir.

Ilustrasi ajak rush money yang beredar di sosial media Twitter
Ajakan rush money yang beredar di sosial media Twitter. (Screenshot via Twitter).
Informasi Sesat

Menurut David Sumual, Ekonom BCA, ajakan agar masyarakat serempak menarik uang tunai secara besar-besaran pada 25 November merupakan upaya untuk mengguncang ekonomi nasional. Namun, ia meyakini, upaya tersebut akan berakhir sia-sia.

Pasalnya, informasi yang tertera dalam selebaran bertagar RushMoney 2511 merupakan informasi sesat. Dalam selebaran itu disebutkan bahwa industri perbankan kesulitan menyediakan uang tunai karena masalah likuiditas.

David menegaskan, hal itu tidaklah benar. Ia bahkan memastikan, permodalan bank masih baik dalam menyediakan uang tunai. Hal ini tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) industri perbankan dengan rata-rata 23 persen atawa jauh di atas ketentuan pemerintah yang sebesar 8 persen.

"Ini sudah mengarah ke arah politik dan bukan tujuan ekonomi. Masyarakat awam yang termakan isu. Ini hanya ingin membuat masyarakat resah," ujar David saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (18/11).

Berdasarkan data OJK, sumber dana industri perbankan per September 2016 mencapai Rp5.200 triliun. Tak cuma itu, perbankan juga memiliki likuditas berlebih hingga Rp300 triliun yang saat ini diparkir di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM) dan SBI.

"Tidak benar kalau dibilang bank hanya punya uang tunai 10 persen saja. Orang yang mengerti perbankan pasti tahu kalau itu informasi sangat salah dan ngawur," terang David.

David menilai, saat ini, dukungan pemerintah dan bank sentral untuk mem-back up sistem perbankan sangat kuat. Daya redam BI dalam menghadapi gejolak dan krisis keuangan sudah teruji di krisis keuangan 1998 dan 2008 lewat serangkaian operasi moneter.

"Jadi, kalau dengan cara itu tujuannya membuat ekonomi morat-marit sudah jelas akan sangat sulit karena bentengnya adalah Bank Indonesia," tegas dia.

Lagipula, sambung dia, masyarakat Indonesia saat ini sudah pintar dalam menyaring informasi. Sehingga, ia optimistis, hasutan untuk melakukan Rush Money tidak akan berpengaruh ke masyarakat luas.

Kendati demikian, ia mengingatkan masyarakat agar jangan sampai ide tersebut justru mencederai upaya menjaga stabilitas bangsa, karena yang menanggung ongkos akibat hal itu adalah semua rakyat Indonesia.

Apalagi, Indonesia tengah menjadi sorotan investor dunia atas keberhasilannya mencapai pertumbuhan ekonomi 5 persen di tengah pertumbuhan ekonomi negara lain yang melambat. Selain itu, Indonesia juga baru merasakan manisnya hasil kebijakan pengampunan pajak yang diklaim menjadi tersukses dunia mengalahkan Afrika Selatan dan Italia.

"Silakan berdemo. Itu hak demokrasi, tapi yang penting harus damai dan jaga stabilitas," pungkasnya. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER