Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menjabarkan keadaan terkini dan prospek ekonomi Indonesia dalam menghadapi tahun depan.
Berbicara di depan ratusan pelaku dan pemangku kebijakan ekonomi dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia, Selasa (22/11) malam, Gubernur BI Agus D.W Martowardojo memandang, kondisi perekonomian global maupun domestik masih diselimuti oleh ketidakpastian tahun depan.
"Ekonomi global diperkirakan tahun ini tumbuh hanya 3 persen lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang sebesar 3,2 persen," ujar Agus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus memaparkan kondisi perekonomian global tahun ini tidaklah lebih baik jika dibandingkan dengan tahun lalu. Justru, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini cenderung melemah.
Hal ini berdampak pada masih rendahnya harga sejumlah komoditas global seperti batu bara, minyak bumi dan kelapa sawit meski dalam beberapa waktu terakhir harga komoditas-komoditas tersebut mulai merangkak naik dari titik terendahnya.
Di sisi lain, hasil pemilihan umum Presiden Amerika Serikat menjadi masalah baru bagi kondisi pasar keuangan dunia. Para pelaku pasar keuangan dunia kembali digiring menuju ketidakpastian pasca Donald Trump mengalahkan rivalnya Hillary Clinton dalam pertarungan pemilu AS.
Bank sentral menilai, ketidakpastian tersebut memberikan beban baru bagi pemulihan keadaan ekonomi global di samping penantian pasar atas kebijakan The Fed akhir tahun nanti. Hal ini membuat pemulihan ekonomi global diproyeksi akan lebih lama dari perkiraan BI sebelumnya.
BI juga menyoroti perubahan fenomena ekonomi yang terjadi dunia, termasuk penurunan volume perdagangan dunia akibat pelemahan permintaan di beberapa negara seperti di Eropa dan China.
Tahun depan BI memprediksi pertumbuhan PDB akan mampu mencapai 5 persen-5,4 persen dengan tingkat inflasi 4 plus minus 1, pertumbuhan kredit 10 persen-12 persen, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 9 persen-11 persen serta kondisi defisit transaksi berjalan (CAD) berada di bawah 3 persen.
Kendati demikian ia mengaku bersyukur Indonesia masih mampu mencapai pertumbuhan ekonomi hingga level 5 persen, angka ini dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi negara lainnya. Indonesia hanya kalah sedikit jika dibandingkan dengan India yang mencapai 7,6 persen.
"Pertumbuhan tahun ini yang diprediksi 5 persen cukup mengesankan dibanding dengan negara lain," ujarnya.
Agus menyebut pondasi ekonomi Indonesia masih cukup kuat menahan guncangan yang datang dari luar negeri. Hal ini ditunjukan dengan peringkat investment grade yang diberikan oleh beberapa lembaga rating internasional serta naiknya peringkat Indonesia dalam indikator kemudahan berbisnis (
ease of doing business) dari 106 ke peringkat 91.
"Konsistensi kebijakan pemerintah dan Indonesia membuat ekonomi domestik lebih resilient dari gejolak ekonomi," katanya.
Ke depannya, Agus mengatakan Indonesia masih harus menghadapi sejumlah tantangan yang bersifat jangka pendek dan strukutral. Untuk tantangan jangka pendek, Indonesia masih harus dihadapkan oleh lemahnya respon swasta terhadap stimulus fiskal yang diberika oleh pemerintah. Hal ini terindikasi dari masih lemahnya angka investasi swasta yang masih rendah.
"Karena saat ini korporasi masih fokus kepada konsolidasi dan efisiensi," katanya.
Pelonggaran kebijakan moneter yang diberikan oleh bank sentral juga masih direspon lemah oleh perbankan nasional. Hal tersebut ditunjukan dengan penurunan suku bunga kredit yang tidak proporsional dengan penurunan suku bunga acuan BI yang sebesar 175 basis poin, sehingga permintaan kredit oleh masyarakat juga masih rendah.
"Hingga September kredit hanya tumbuh 6,5 persen dibanding dengan tahun lalu yang mencapai 10 persen," jelasnya.
Dari segi permasalah struktural, Indonesia juga harus menghadapi fenomena ketergantungan ekspor terhadapa sumber daya alam (SDA), deindustrialisasi yang semakin parah serta kondisi pasar keuangan dalam negeri yang masih dangkal.
Di balik tantangan tersebut, Agus mengungkapkan sejumlah potensi yang dimiliki oleh Indonesia. Pertama adalah potensi keyakinan pelaku ekonomi terhadap pemerintah melalui program pengampuanan pajak. Penerimaan negara dari hasil amnesti pajak dinilai mampu menopang pemerintah dalam hal penerimaan.
"Potensi ini menjadi potensi kuat untuk mendukung pembiayaan engara dan menciptakan ruang fiskal yang lebih kuat," katanya
Indonesia juga dinilai berpotensi menikmati manisnya pertumbuhan inovasi teknologi digital yang mampu membuat ekonomi semakin efisien. BI juga menyoroti potensi besar dari peran wanita dalam menggerakan perekonomian domestik melalui sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
"Kami meyakini kita harus kembali pada tiga fungsi dasar tiga kebijakan publik yakni fungsi stabilisasi, distribusi dan alokasi," ujarnya.
(gir)