Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengubah sistem bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC) Wilayah Kerja (WK) migas dari sebelumnya berbentuk PSC
cost recovery menjadi PSC
Gross Split.
PSC
gross split adalah sistem bagi hasil produksi, di mana produksi minyak langsung dibagi antara pemerintah dan KKKS. Namun, bagian (
split) pemerintah tentu akan lebih kecil dibanding
split PSC saat ini yaitu 85 persen karena tidak ada
cost recovery bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Kendati demikian, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan bahwa pemerintah tak mau gegabah dalam menentukan
split baru antara pemerintah dan KKKS. Menurutnya, porsi
split tentu harus menguntungkan kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, nantinya pemerintah tidak akan menyamaratakan besaran
split di setiap PSC.
"Nanti akan dilihat
case by case, (hitungan
split) tidak bisa digeneralisasi," ujar Arcandra, Selasa (6/12).
Lebih lanjut ia menuturkan, setidaknya ada lima kriteria utama untuk menentukan
split KKKS dan pemerintah di sebuah WK migas. Lima kriteria tersebut adalah besaran cadangan migas, lokasi WK migas, tingkat kesulitan produksi, jenis WK konvensional atau non-konvensional, serta masuk kategori lapangan marjinal atau bukan.
Namun sampai saat ini, pemerintah belum mengkaji ihwal porsi
split minimal yang bisa diterima negara.
"Nanti bagaimana perhitungan di masing-masing WK, tergantung dari evaluasi kriteria-kriteria tersebut," jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, perubahan skema PSC menjadi
gross split bisa mendorong KKKS untuk mengefisienkan biaya operasionalnya. Karena dengan skema
cost recovery, ada kemungkinan KKKS tidak didorong untuk melakukan efisiensi mengingat biaya yang telah dikeluarkan akan diganti pemerintah.
"Di samping itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) masih memiliki klaim untuk seluruh WK migas. Karena mereka berhak menentukan lapangan-lapangan migas ini mau diapakan," jelasnya.
Sayangnya, dewan legislatif berpendapat sebaliknya. Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dito Ganinduto berpendapat, SKK Migas akan sangat sulit memantau aktivitas KKKS jika PSC
gross split diimplementasikan.
Dengan skema
gross split, maka KKKS berlomba-lomba untuk lebih efisien. Namun, tidak ada jaminan jika peralatan yang digunakan kontraktor memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi. Sehingga, ia khawatir industri pendukung migas domestik tak berkembang.
Menurut data SKK Migas, penggunaan TKDN di sektor hulu migas antar bulan Januari hingga Oktober 2016 sebesar 49,9 persen. Angka ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun 2015 sebesar 68 persen.
"Apalagi ini kan hanya berlaku untuk kontrak baru, kontrak
existing masih tetap yang lama kan. Kami harap pemerintah benar-benar serius mengkaji ini dulu sebelum benar-benar diimplementasikan," ujar Dito di Gedung DPR, kemarin.
Sebagai informasi, realisasi
cost recovery pada tahun 2015 tercatat US$13,9 miliar, atau lebih tinggi dibanding Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas tahun lalu tercatat di angka US$12,86 miliar.
Selain itu, pemerintah menganggarkan
cost recovery sebesar US$8,5 miliar pada tahun ini dan masuk di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2016. Angka ini kemudian meningkat US$10,4 miliar di tahun 2017 mendatang.
(gen)