Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyoroti efektivitas pengembalian biaya operasi hulu migas (
cost recovery), yang selalu dituding Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberatkan keuangan negara.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar beralasan, kenaikan
cost recovery memang tak dapat dipungkiri karena produksi migas dihasilkan dari lapangan-lapangan tua.
Ia menyebut, semakin tua lapangan migas, maka semakin mahal juga ongkos operasional dan perawatannya. Tetapi di sisi lain, kemampuan produksi lapangan tua semakin hari semakin mandul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selalu dikatakan bahwa
cost recovery naik terus sementara produksi turun terus. Ini memang benar, kenapa? Karena Indonesia punya lapangan tua. Perawatannya semakin mahal, produksinya juga makin lama makin menurun," terang Arcandra, kemarin.
Ia menyebut, saat ini pemerintah tidak menekankan pada besaran
cost recovery setiap tahunnya, tetapi pada efektivitas penggunaannya.
Mantan Menteri ESDM ini mengaku menemukan beberapa klaim
cost recovery yang tidak jelas layaknya siluman yang membuatnya gerah. Ia menyebut ada beberapa komponen biaya operasi yang dianggapnya memiliki kalimat berbunga dan masuk ke dalam tagihan
cost recovery.
"Belakangan saya melihat dengan kalimat yang sangat berbunga, komponen apa ini? Ada juga poin yang disebut pembinaan. Ini apa sebenarnya? Tapi memang perlu dilihat
case by case," terangnya.
Meski begitu, bukan berarti
cost recovery tak bisa dikendalikan. Ia menyebut, ada tiga kiat khusus agar penggunaan
cost recovery bisa lebih efisien.
Pertama, adalah penggunaan teknologi. Arcandra menuturkan, investasi yang dibutuhkan untuk teknologi memang tidak sedikit. Namun, dampaknya bisa dirasakan dalam jangka panjang.
Ia mencontohkan penggunaan teknologi untuk memproduksi minyak
shale oil di Amerika Serikat.
"Ingat,
shale oil dimulai dengan teknologi coba-coba dan akhirnya bisa menghasilkan 4,5 juta barel per hari (bph) di tahun 2006 hingga 2007. Dalam tujuh tahun, produksinya mencapai 9,5 juta bph. Kuncinya di teknologi," terangnya.
Kedua, menyederhanakan perizinan migas. Ia mencontohkan, izin pengeboran di AS hanya memakan waktu dua minggu saja. Sehingga, tak heran jika
shale oil di negara Paman Sam banyak diminati perusahaan migas skala Usaha Kecil Menengah (UKM).
"
Shale oil dan
shale gas ini dilakukan oleh UKM karena
permit drilling-nya yang cepat," jelasnya.
Ketiga, perbaikan strategi perencanaan kontrak, di mana pengerjaan desain hingga konstruksi fasilitas migas dilakukan oleh jasa kontraktor yang sama. Ia menerangkan, hal ini bisa mengurangi belanja modal dibanding menggunakan kontraktor yang berbeda-beda untuk setiap tahapan pembangunan fasilitas migas.
"Akan terjadi
dispute kalau beda
company, kejadiannya
change order.
Cost membengkak, jadwal proyek berantakan, dan yang lebih parah, proyek bisa mangkrak," tuturnya.
Sebagai informasi, negara harus mengembalikan duit
cost recovery pada 2015 sebesar US$13,9 miliar, atau lebih tinggi dibanding Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas tahun lalu yang tercatat di angka US$12,86 miliar.
Selain itu, pemerintah menganggarkan
cost recovery sebesar US$8,5 miliar pada tahun ini dan masuk di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2016. Angka ini kemudian diperkirakan meningkat US$10,4 miliar pada 2017 mendatang.
(gen)