Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengawasi ketat program restrukturisasi keuangan perusahaan asuransi jiwa Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Manuver restrukturisasi yang rumit membuat OJK harus berhati-hati.
Perusahaan asuransi tertua di Indonesia itu saat ini tengah bermanuver untuk mendapatkan tambahan modal baru melalui aksi
backdoor listing di bursa saham melalui salah satu emiten, yakni PT Evergreen Invesco Tbk.
PT Evergreen Invesco Tbk memutuskan untuk melepas saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau
rights issue dengan target dana Rp10,32 triliun. Nilai tersebut digelontorkan demi 'menyelamatkan' AJB Bumiputera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Skenario awalnya, dalam aksi
rights issue tersebut, AJB Bumiputera akan berperan sebagai pembeli siaga (
standby buyer) yang siap membeli saham Evergreen apabila saham emiten tidur tersebut tidak laku di pasar.
Sebelumnya, AJB Bumiputera sendiri telah mendirikan sebuah induk usaha baru bernama PT Bumiputera Sembilan Belas Dua Belas (B1912). Lantas, di bawah naungan perusahaan induk baru ini, dibentuk tiga unit usaha, yakni PT Bumiputera Investama Indonesia (BII), PT Bumiputera Properti Indonesia (BPI), dan PT Bumiputera Life Insurance (BLI).
Anak-anak usaha ini yang akan disiapkan untuk meraup saham Evergreen yang dilempar ke publik. Dengan demikian, secara perlahan aset-aset AJB Bumiputera akan masuk ke Evergreen yang sahamnya telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Proses ini membuat AJB Bumiputera bisa masuk ke lantai bursa tanpa proses penawaran saham perdana atau yang biasa dikenal dengan istilah Initial Public Offering (IPO).
Skenario tersebut dilakukan mengingat status badan hukum AJB Bumiputera bukanlah perseroan terbatas (PT) namun merupakan perusahaan berbentuk mutual, dimana pengendalian sahamnya hanya dipegang oleh para pemegang polis. Dengan pola ini, pemegang polis yang berjumlah lebih dari 6 juta berhak mengambil sebuah keputusan, sehingga pengambilan keputusan tidaklah sederhana.
Namun, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Firdaus Djaelani mengatakan manuver tersebut masih merupakan pilihan yang tengah dibahas oleh internal AJB Bumiputera dan para calon investornya. Peran OJK pun lagi-lagi harus dibatasi oleh regulasi. Namun yang pasti, Firdaus mengatakan OJK belum mengeluarkan izin
rights issue kepada Evergreen.
Pembahasan skenario penyehatan kembali perusahaan asuransi jiwa yang tengah melempem itu kini dilimpahkan kepada para pengelola
statuter AJB Bumiputera. Para pengelola
statuter tersebut merupakan hasil penunjukan OJK dengan tujuan mempercepat proses penguatan.
Tugas utama pengurus baru tersebut adalah memastikan terselenggaranya kegiatan operasional perusahaan secara baik dan lancar serta melakukan restrukturisasi secara menyeluruh terhadap AJB Bumiputera 1912 guna memperkuat kondisi keuangan perusahaan.
"Karena tentunya yang akan menjalankan adalah
statuter, kesepakatan mereka terakhir dengan calon investor seperti apa, itu masih dalam pembahasan dan belum ada yang pasti benar," ujar Firdaus, Selasa (13/12).
Kalaupun harus melalui
rights issue, lanjut Firdaus, modal baru yang didapat oleh AJB Bumiputera nantinya harus masuk kepada anak-anak usahanya. Hal ini sekali lagi akibat status hukum AJB Bumiputera sebagai perusahaan
mutual.
"Bukan Bumiputeranya yang disuntik, tapi anak usahanya yang akan disuntik. Untuk suntik ke Bumiputeranya enggak bisa karena dia sebagai
mutual, jadi kita lahirkan anak usaha. Anak usaha ini yang akan disuntik. Jadi bisnis baru itu yang akan dijalankan oleh anak perusahaan, sementara bisnis lama akan di-
maintain oleh AJB Bumiputera yang
mutual," ujarnya.
Kendati demikian, Firdaus menyebut kondisi likuiditas AJB Bumiputera saat ini masih lumayan baik. Setiap tahun perusahaan asuransi yang didirkan sejak zaman penjajahan Belanda itu berhasil meraup pendapatan premi Rp5 triliun sampai Rp6 triliun. AJB Bumiputera dianggap masih mampu memenuhi kewajibannya dalam membayar klaim yang jatuh tempo setiap tahunnya.
"Bumiputera masih jalan, dapat premi setahun Rp5,5 triliun, sebagai perusahaan tua, kemungkinan yang jatuh tempo juga banyak. Kenapa kami merestrukturisasi? Karena sebagai perusahaan tua yang klaim jatuh temponya banyak, sehingga perlu tambahan modal," ujarnya.
(gir/gen)