Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) terus mendapatkan serangan dari berbagai pihak. Tak hanya dari kalangan pengusaha terkait revisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, tetapi juga terkait hasil putusannya yang dinilai tidak valid.
Ekonom Universitas Indonesia Anton Hendranata menilai, beberapa putusan KPPU tidak bisa dikatakan berimbang karena bila diteliti secara statistik terbilang tidak valid karena tidak merata. Ia mencontohkan, putusan untuk kasus industri minuman olahan serbuk berperisa buah yang mengandung susu dalam kemasan sachet.
Menurut Anton, KPPU hanya menunjuk lima produk dalam produk minuman tersebut diantaranya, Pop Ice, S Cafe, Milk Juss, Camelo, dan Soo Ice. Padahal jika berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI), ada 1.491 jenis produk minuman tersebut yang dijual di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah apa lima produk itu bisa mewakili populasi produk yang ada. Ini harus dibuktikan secara statistik, jangan tiba-tiba diambil sampel lima contoh tapi tidak ada penjelasan statistiknya. Jika tidak bisa dibuktikan ya tidak valid, maka selanjutnya jadi tidak valid juga," ungkap Anton, Rabu (14/12).
Menurut Anton, jika hitungan statistik yang dilakukan salah, maka KPPU otomatis salah dalam menghitung jumlah pangsa pasar (market share) yang ada. Kesalahan tersebut juga mengakibatkan KPPU dinilai gagal dalam menentukan posisi dominan, mendefinisikan produk apa yang bersaing, dan produk mana yang bersubsitusi.
Sementara itu, contoh kasus lainnya terjadi pada putusan produksi bibit ayam pedaging (broiler). KPPU dinilai tidak seragam dalam menarik sampel. Anton menjelaskan, sampel yang diambil KPPU diluar dari kasusnya yaitu, bibit ayam pedaging. Misalnya saja, PT Charoen Pokphand yang juga dijadikan sampel kasus tersebut. Padahal Charoen Pokphand bergerak dalam makan olahan dan pakan ternak.
"Harusnya perusahaan terlapor harus berbisnis bibit ayam pedaging, kalau beda-beda kan secara statistik salah sasaran," terang Anton.
Tak hanya itu, kasus impor bawang putih pada kurun waktu 1 November 2012 hingga 28 Februari 2013. Di mana diketahui KPPU hanya menganalisis data setiap tanggal 1 setiap bulannya. Kemudian, KPPU juga dinilai menghilangkan data harga pada tanggal lainnya. Sementara, Anton menilai hal itu tak boleh dilakukan sebagai bahan analisis.
"Secara statistik, data tidak bisa dibuang begitu saja," tandasnya.
Menurutnya, analisis terkait tren harga bawang putih perlu dilakukan setiap hari atau mingguan. Jika hanya mengambil satu tanggal, maka hasil analisis tak menggambarkan dinamika pergerakan harga secara komprehensif.
"Jadi kalau ada lonjakan sesaat kemudian harga normal lagi, tidak dapat disimpulkan secara langsung telah terjadi adanya kesepakatan harga antar importir," pungkas Anton.
(gen)