Jakarta, CNN Indonesia -- Pendistribusian saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau
rights issue PT Evergreen Invesco Tbk (GREN) yang direncanakan dimulai hari ini hingga 22 Desember mendatang pupus sudah. Pasalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum juga memberikan izin efektif terhadap penerbitan
rights issue tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida menjelaskan, proposal yang diberikan Evergreen dalam menerbitkan
rights issue tersebut berupa kejelasan mengenai pembeli siaga dari
rights issue tersebut. Menurut Nurhaida, Evergreen hanya mencantumkan kata investor, tetapi tak menyebutkan siapa investor yang akan siap menyerap penerbitan saham baru tersebut.
"Ternyata di dalam dokumen yang disampaikan ke OJK itu masih ada namanya disebut investor. Jadi investor ini yang kami tanya agar dibuka siapa itu?” ungkap Nurhaida, Kamis (15/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka dari itu, Nurhaida berharap agar Evergreen dapat segera melengkapi dokumen tersebut agar penerbitan
rights issue bisa segera dilakukan. Tidak seperti saat ini, yang menimbulkan ketidakpastian.
Sebelumnya, pihak Evergreen menyatakan bahwa Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera bertindak sebagai pembeli siaga dan menjadi calon pengendali baru perusahaan. Manuvernya, AJB Bumiputera akan bertindak sebagai pembeli siaga dan akan mengambil seluruh sisa
rights issue melalui konversi utang menjadi modal pada 23 Desember mendatang.
Namun nyatanya, OJK belum mendapatkan pernyataan tersebut secara resmi. Maka dari itu, OJK meminta agar Evergreen segera membalas pernyataan OJK untuk menjelaskan pembeli siaga tersebut.
"Publik kan harus tahu," imbuh dia.
Sebagai informasi, penerbitan
rights issue oleh Evergreen ini menggunakan skema
backdoor listing, di mana AJB Bumiputera berencana melakukan restrukturisasi untuk memperbaiki kondisi keuangan agar dapat memiliki kemampuan yang cukup secara finansial untuk memenuhi kewajiban pada pemegang polis.
Awalnya, Evergreen berencana melepas saham baru dengan target sekitar Rp30 triliun, tetapi perusahaan mengubah targetnya menjadi Rp40 triliun. Namun, pada Desember ini perusahaan kembali mengubah target menjadi hanya Rp10 triliun.
"Kami tidak tahu nanti ada perubahan lagi atau tidak dalam proposalnya, kami tunggu emiten yang bersangkutan," pungkas Nurhaida.