Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) menyebutkan, pemerintah masih menunggu kesiapan dari pelaku industri hasil tembakau (IHT) untuk membereskan mata rantai distribusi rokok, sebelum memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kepala BKF Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan, sejumlah perwakilan perusahaan rokok telah bertemu dengan pemerintah dan meminta waktu.
"Industri minta waktu untuk mempersiapkan jalur distribusi, mereka minta dua sampai tiga tahun. Tapi kita minta percepat, masa menyiapkan begitu saja lama sekali," ungkap Suahasil, Selasa (20/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menerangkan, sejumlah industri rokok perlu mempersiapkan kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), seperti yang diinstruksikan oleh pemerintah.
Adapun NPWP tersebut, diwajibkan pemerintah agar setiap pos distribusi rokok, mulai dari pabrikan rokok yang diteruskan ke pedagang besar hingga pedagang kecil dapat dipungut pajak.
Namun begitu, para pelaku usaha di industri rokok rupanya belum seluruhnya memiliki NPWP sehingga untuk menarik PPN, pemerintah perlu menunggu agar seluruh pos distribusi memiliki NPWP.
Kewajiban memiliki NPWP bagi seluruh pos distribusi industri rokok, sengaja diterapkan pemerintah agar tak ada kebocoran pembayaran pajak dari industri ini.
Selain itu, NPWP juga diwajibkan untuk menunjang keinginan pemerintah agar basis data perpajakan di Indonesia kian lengkap.
Untuk besaran pengenaan PPN sendiri, Suahasil menyebutkan, kementeriannya sepakat dengan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menarik pajak di setiap pos distribusi atau pos ganda sebesar 9,1 persen.
"Sekarang ditarik di tingkat produsen 8,7 persen. Hasil pemeriksaan BPK mengatakan tarif sebesar 9,1 persen," jelas Suahasil.
Besaran tarif PPN rokok itu menurutnya tinggal menunggu persetujuan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Sekarang sedang dipertimbangkan, nanti putusannya di Menteri Keuangan, mudah-mudahan dalam beberapa waktu ini," imbuh Suahasil.
(gen)