Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha
smelter menilai kewajiban penyerapan nikel kadar rendah seharusnya bukan menjadi kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam beleid baru mengenai pengolahan dan pemurnian barang-barang mineral.
Pasalnya, pelaku usaha
smelter telah melakukan hal tersebut jauh sebelum ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo beralasan, saat ini banyak sekali
smelter nikel dalam negeri yang mampu mengolah
ore dengan kadar rendah. Beberapa perusahaan, lanjutnya, telah melakukan kegiatan tersebut sejak 2012 silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak lima tahun lalu, kami sudah menyerap nikel
ore kadar rendah. Jadi buat kami ini seharusnya bukan sesuatu yang dianjurkan oleh pemerintah karena pelaku usaha sudah melakukannya," jelas Jonatan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (13/1)
Ia menerangkan, penyerapan nikel kadar rendah tidak menjadi hambatan bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP). Apalagi menurut data asosiasi, saat ini terdapat 10
smelter nikel di dalam negeri yang mampu melakukan pengolahan nikel berkadar 1,8 persen ke bawah karena menggunakan teknik
blast furnace.
"Namun yang ingin saya tekankan, beleid baru dan Permen ini tidak akan ada gunanya jika tak ada intensi perusahaan tambang untuk melakukan ekspor. Melihat hal itu, tentu saja kami sanggup untuk melakukan penyerapan nikel kadar rendah," terangnya.
Sebagai informasi, ketentuan penyerapan nikel kadar rendah ini tercantum di dalam pasal 10 Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016. Ketentuan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 Atas Perubahan Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan itu menyebut bahwa IUP OP atau IUPK wajib melakukan pemurnian terhadap nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen. Pemurnian ini bisa dilakukan oleh IUP OP atau bermitra dengan pelaku usaha
smelter lain dengan penyerapan minimal 30 persen dari kapasitas input
smelter.
Jika IUP telah melakukan kewajiban tersebut, maka perusahaan tambang diperbolehkan untuk melakukan ekspor dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun ke depan.
Di sisi lain, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto enggan berkomentar ihwal tingkat kemampuan industri smelter dalam negeri dalam menyerap nikel kadar rendah. Meski hilirisasi mineral merupakan konsen Kementerian Perindustrian, ia menganggap keputusan tersebut merupakan produk hukum dari Kementerian ESDM.
"Saya memilih untuk tidak berkomentar mengenai hal tersebut," ujar Airlangga di kantornya.