Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar tak sedap menyeruak dari PT Pertamina (Persero) pada pekan lalu. Orang nomor satu dan dua di perusahaan pelat merah itu dilengeserkan dari kursinya masing-masing oleh pemegang saham, yang notabene pemerintah sendiri. Masalah komunikasi di antara keduanya disinyalir sebagai akar perginya duo pria yang kerap disapa Pak Tjip dan Pak Abe dari Pertamina.
Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Mungkin itu adalah peribahasa yang tepat menggambarkan peristiwa tersebut.
Hanya karena masalah perselisihan hingga krisis kepemimpinan, dua sosok itu harus hengkang dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masuk menjadi 500 perusahaan bonafide versi Forbes tersebut
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bisa dibilang, Pertamina ditinggalkan warisan yang menyedihkan sepeninggal bos sebelumnya, Karen Agustiawan. Mulai dari laba yang merosot sebesar 50 persen secara tahunan, inefisiensi tata kelola migas, hingga isu mafia migas yang berkeliaran di tubuh BUMN berusia 59 tahun itu.
Tak heran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mencari pemimpin di Pertamina yang berujung pada terpilihnya Dwi pada November 2014. Dwi akhirnya menjadi Direktur Utama BUMN yang pertama kali terpilih sejak Jokowi menjabat.
Beberapa langkah untuk memperbaiki keadaan akhirnya ditempuh oleh mantan pucuk pimpinan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Sesuai amanah Jokowi untuk memberantas mafia migas, Dwi memberanikan diri untuk membubarkan PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) pada Mei 2015 silam. Pada saat itu, Petral dianggap sebagai sarang pencari rente yang beroperasi melalui impor minyak mentah.
 Dwi Soetjipto saat diperkenalkan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai Dirut Pertamina, dua tahun lalu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Niatan Dwi untuk membubarkan Petral dianggap tidak main-main. Saat itu, Dwi memerintahkan audit forensik dan investigasi terhadap anak usaha Pertamina yang bergerak di pembelian impor minyak tersebut sesuai rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas besutan ekonom Faisal Basri cs. Bahkan, ia juga menonaktifkan empat pegawai internal Pertamina yang terindikasi ada kaitan dengan Petral.
Hasilnya, Pertamina mencatatkan efisiensi yang cemerlang. Beban operasional Pertamina langsung terpangkas 46,44 persen di tahun pertamanya menjabat sebagai Direktur Utama. Manuver itu berlanjut di tahun lalu, di mana perusahaan mencapai efisiensi sebesar US$1,6 miliar hingga kuartal III 2016.
Di tahun awal, memang efisiensi masih belum berdampak baik bagi profitabilitas perusahaan. Pada tahun 2015, laba Pertamina mencapai US$1,42 miliar atau menurun tipis 1,39 persen dibanding posisi sebelumnya US$1,44 miliar.
Untungnya, upaya efisiensi Pertamina membuahkan hasil di tahun 2016. Hinga kuartal III saja, perusahaan berhasil membukukan laba US$2,83 miliar atau dua kali lipat dibanding total keuntungan sepanjang tahun 2015. Padahal, pendapatan operasional Pertamina pada kuartal III tahun lalu terbabat ke angka US$41,76 miliar dari tahun sebelumnya US$70 miliar.
Saat itu, Dwi mengatakan bahwa sebagian besar motor pendapatan Pertamina berasal dari lini hulu migas. Maka dari itu, tak heran jika Pertamina melakukan akusisi proyek hulu migas di luar negeri. Beberapa diantaranya terdiri dari pengelolaan blok Menzel Lejman North (MLN) di Aljazair hingga mengakuisisi 64,46 persen saham perusahaan migas Perancis, Maurel et Prom.
Di sisi hilir, perusahaan juga akhirnya meluncurkan Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi dengan titel Pertalite pada medio 2015 lalu. Siapa sangka, penjualan bahan bakar dengan kadar oktan 90 itu bisa laris di pasaran. Terakhir, kontribusinya sempat menyentuh 33 persen terhadap total konsumsi bensin Pertamina di tahun lalu.
 Kinerja Pertamina di bawah komando Dwi Soetjipto menunjukkan arah perbaikan selama dua tahun terakhir. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari) |
Sayang, seluruh pencapaian itu harus ternoda oleh ketidakakuran Dwi dan Ahmad. Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng pernah merinci beberapa kasus di mana keduanya tak pernah sejalan.
Kasus pertama adalah masalah persetujuan impor BBM jenis solar. Saat itu, Ahmad dianggap menyalahi wewenang sebagai Wakil Direktur Utama setelah menandatangani persetujuan impor. Padahal, dokumen itu seharusnya ditandatangani langsung oleh Dwi selaku Direktur Utama.
Selain itu, ketidaksepakatan antara keduanya juga menyebabkan 20 tenaga kerja stategis tak kunjung diganti meski masa jabatannya telah habis. Salah satu contohnya adalah posisi pemimpin PT Pertamina Gas (Pertagas) yang sempat kosong selama beberapa waktu.
Malangnya, ketidakcocokan antara keduanya disorot tajam oleh para komisaris. Dengan dalih komunikasi yang tidak lancar, dewan komisaris Pertamina memilih untuk memberhentikan Ahmad dan Dwi.
Bahkan, dewan komisaris seolah menyalahkan Dwi karena tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Anehnya, Tanri bilang jika krisis kepemimpinan ini baru muncul setelah Ahmad naik tingkat ke posisi Wakil Direktur Utama pada Oktober tahun lalu. Jika kondisi ini dipertahankan, maka akan terjadi keterlambatan kinerja di tubuh BUMN itu.
Padahal, selama dua tahun Dwi menjabat sebagai Direktur Utama, jarang ada suara sumbang muncul dari tubuh Pertamina yang menyeruak ke permukaan. Selain itu, jika masalahnya adalah kepemimpinan, mengapa perselisihan itu terkuak setelah Ahmad menjadi Wakil Direktur Utama?
 Ahmad Bambang dipercaya Menteri BUMN Rini Soemarno menjadi Wadirut Pertamina mulai Oktober 2016 lalu. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma) |
Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, pencopotan Dwi dan Ahmad yang dilandasi sikap kepemimpinan dirasa aneh mengingat selama ini kinerja Pertamina baik-baik saja. Ia bilang, jika memang kepemimpinan ini berdampak pada kinerja, buktinya saat ini Pertamina masih membukukan laba yang cemerlang.
Untuk itu, ada baiknya pemerintah memaparkan alasan utama dibalik pemakzulan dua tokoh penting BUMN minyak itu. "Harusnya publik diberi kesempatan untuk tahu, apa sebetulnya yang terjadi?" katanya. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Energy (CERI) Yusri Usman mengatakan, seharusnya Dewan Komisaris dan Kementerian BUMN yang bersalah dengan adanya masalah miskomunikasi ini. Pasalnya, nomenklatur Wakil Direktur Utama serta sosok yang mengisi jabatan itu diusulkan oleh dewan komisaris, sehingga tak tepat jika kesalahan ini ditimpakan seluruhnya ke Dwi dan Ahmad.
Terlebih, perubahan anggaran dasar menimbulkan wewenang berlebih bagi Wakil Direktur Utama. Sehingga, ada kemungkinan isu "matahari kembar" sudah dipersiapkan sejak saat itu.
Apalagi, setelah kejadian ini, Dewan Komisaris dan pemerintah kemudian menghapus posisi Wakil Direktur Utama. Tak ayal, ada indikasi bahwa kedua pihak tersebut secara tidak langsung mengaku telah menyusun struktur organisasi yang salah.
"Itu adalah tanggungjawab renteng Dewan komisaris Pertamina bersama dengan Menteri BUMN Rini Soemarno," jelas Yusri.
Terlepas dari sosok yang perlu bertanggungjawab atas kondisi ini, operasional Pertamina harus tetap jalan. Sejumlah pekerjaan rumah sepeninggal Dwi perlu dilanjutkan agar ambisi menjadi BUMN unggulan bisa tercapai.
Untuk mengurus Pertamina hingga 2025, diperlukan investasi sebesar US$112 miliar yang mencakup operasional hulu migas domestik dan internasional, penambahan kapasitas kilang sebesar dua kali lipat, hingga perbaikan infrastruktur gas. Semua rencana yang digelar Dwi bisa diteruskan dengan baik, atau bisa saja berubah kembali.
Bagaimanapun, semuanya tergantung dengan sosok baru yang memimpin Pertamina, yang rencananya ditentukan sebulan mendatang. Jika sosok pengganti Dwi memang mumpuni, maka tak perlu lagi berdebat tentang siapa yang salah atau siapa yang benar.