JP Morgan: Tiga Hal Perlu Dicermati Soal Restrukturisasi BUMI

Dinda Audriene & Giras Pasopati | CNN Indonesia
Kamis, 09 Feb 2017 12:04 WIB
JP Morgan mewanti-wanti investor soal pemangkasan utang PT Bumi Resources Tbk. Mulai dari masa lalu Grup Bakrie, harga batu bara, hingga imbas harga minyak.
JP Morgan mewanti-wanti investor soal pemangkasan utang PT Bumi Resources Tbk. Mulai dari masa lalu Grup Bakrie, harga batu bara, hingga imbas harga minyak. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- J.P. Morgan Securities (Asia Pacific) Limited membeberkan analisis terkait manuver PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dalam memangkas utang dengan cara menerbitkan saham baru senilai dua kali lipat dari nilai kapitalisasi perseroan.

Seperti diketahui, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Bumi Resources Tbk menyetujui penerbitan saham baru melalui mekanisme right issue senilai Rp35 triliun atau sekitar US$2,6 miliar dengan nilai Rp926 per saham terkait dengan restrukturisasi utang perseroan.

Sekretaris Perusahaan dan Direktur BUMI Dileep Srivastava mengatakan dengan aksi itu, utang perseroan bisa ditekan sebesar US$1,6 miliar atau Rp21,3 triliun. Diketahui, total utang perusahaan berkode BUMI itu mencapai US$4,2 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Analis JP Morgan Soo Chong Lim menyatakan, terdapat beberapa risiko kunci dalam kinerja Bumi Resources saat ini. Pertama, masa lalu yang dinilai 'penuh warna'. Bumi Resources dan pemegang saham pengendali, keluarga Bakrie, memiliki beberapa sejarah yang penuh warna.

"Perusahaan melalui waktu yang sulit selama krisis keuangan global," ujarnya dalam riset, dikutip Kamis (9/2).

JP Morgan: Tiga Hal Perlu Dicermati Soal Restrukturisasi BUMIAburizal Bakrie. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Di tengah penurunan tajam dalam industri batubara, perusahaan memanfaatkan situasi dengan mengakuisisi beberapa perusahaan (Darma Henwa, Pendopo dan Fajar Bumi Sakti) dari pihak terkait.

"Selain Bumi Resources, beberapa perusahaan Bakrie lainnya (Bakrie Telecom, Bakrie Sumatera dan Bakrie Land) juga menghadapi kesulitan keuangan, mengakibatkan restrukturisasi besar untuk utang mereka. Dalam pandangan kami, hal ini pada dasarnya mencerminkan kebijakan keuangan grup yang agresif," jelas Lim.

Keluarga Bakrie, lanjutnya, juga memiliki beberapa sengketa dengan mitranya bisnis di Bumi Resources (Bumi Plc dan PT Borneo), yang menuduh perusahaan dengan beberapa perilaku penyalahgunaan meskipun dibantah oleh manajemen.

"Ini masih harus dilihat apakah kehadiran China Investment Corporation (CIC) sebagai salah satu pemegang saham terbesar bisa berfungsi sebagai pemantau dan penyeimbang ke depan. Dalam pandangan kami, ini tetap menjadi risiko utama untuk diperhatikan," imbuhnya.

Sensitif Terhadap Harga Batu Bara

Yang kedua, Lim menjelaskan bahwa laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) Bumi Resources sangat sensitif terhadap harga patokan batu bara Newcastle. Ia memperkirakan bahwa setiap US$ 5 per metrik ton perubahan harga patokan Newcastle, akan menyebabkan perubahan EBITDA Bumi Resources sebesar US$108 juta.

"Dengan asumsi dasar kami tekait harga batu bara Newcastle sebesar US$70 per metrik ton, Bumi Resources berpotensi menghasilkan EBITDA sebesar US$601 juta pada 2017," ungkapnya.

Di sisi lain, dengan proforma utang total mencapai US$1,60 miliar, tidak termasuk mandatory convertible bonds (MCB), rasio leverage mencapai 2,7 kali. Rasio bisa memburuk ke 6,7 kali jika harga batu bara Newcastle jatuh ke US$60 per metrik ton.

"Agar Bumi bisa melunasi utang senior dalam waktu lima tahun, maka harga batu bara Newcastle harus tetap berada di kisaran yang tinggi, US$ 60 per metrik ton," jelasnya.

JP Morgan: Tiga Hal Perlu Dicermati Soal Restrukturisasi BUMIAktivitas pertambangan. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Biaya Bahan Bakar

Terakhir, biaya bahan bakar adalah variabel besar lain. Konsensi milik anak usaha, KPC dan Arutmin, telah memperoleh manfaat dari penurunan tajam harga minyak selama dua tahun terakhir. Hal ini ditambah dengan biaya kontraktor pertambangan yang lebih rendah dan telah menekan biaya produksi lebih rendah.

Sementara biaya bahan habis pakai, yang sebagian besar terkait dengan bahan bakar, menyumbang 21 persen dari biaya tunai produksi untuk KPC. Untuk Arutmin, item tersebut lebih rendah mungkin mencerminkan fakta bahwa biaya bahan bakar adalah melewati dari kontraktor penambangan.

"Dalam perkiraan, kami telah mengasumsikan bahwa biaya bahan bakar akan naik secara proporsional untuk harga minyak di masa depan, yang kami percaya konservatif, karena hubungan antara biaya bahan bakar dan harga minyak tidak berhubungan langsung," jelas Lim. (gir/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER