Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia, boleh jadi salah satu negara yang mampu selamat dari arus perlambatan ekonomi dunia. Setidaknya di tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu menyentuh angka 5,02 persen, meski sedikit di bawah target.
Boleh jadi juga, hal ini yang membuat beberapa lembaga survei berani memprediksi bahwa ekonomi negara kepulauan kian melesat dalam beberapa tahun ke depan. Bahkan, lembaga audit internasional Pricewaterhouse Coopers (PwC) teramat yakin bahwa ekonomi Indonesia mampu bertengger di posisi lima di 2030 dan di posisi empat pada 2050 mendatang.
Namun ramalan lembaga swasta, kerap kali berubah. Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak boleh besar kepala dengan ramalan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bergantung pada konsumsi rumah tangga. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga mengambil peran 56,5 persen dari seluruh perekonomian Indonesia di tahun lalu.
Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengatakan, sumbangan konsumsi rumah tangga di beberapa tahun ke depan masih akan besar kontribusinya. Pasalnya, jumlah penduduk Indonesia yang kian tinggi akan mengerek konsumsi rumah tangga.
Kedua, investasi. Enny melihat, sentimen dan iklim investasi masih menjadi penentu deras atau tidaknya aliran investasi ke Tanah Air. Adapun saat ini, keriuhan politik dalam negeri saat ini, yang ditandai dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memberi pengaruh negatif pada investasi.
"Padahal Indonesia punya beberapa industri yang mampu bersaing bila kebanjiran investasi," ujar Enny kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/2).
Sayangnya, catatan terakhir dari BPS, pertumbuhan investasi seret dikisaran 4,48 persen dari sebelumnya 5,01 persen di 2015.
Ketiga, pengeluaran pemerintah. BPS mencatat, konsumsi pemerintah justru negatif 0,15 persen di tahun lalu dan hanya menyumbang 9,45 persen ke perekonomian. Padahal, konsumsi pemerintah seharusnya mampu menjadi stimulus pertumbuhan.
Konsumsi pemerintah yang merosot, tidak lain dan tidak bukan karena pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Hal tersebut terpaksa dilakukannya karena mengendus rendahnya potensi penerimaan negara.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, untuk menjaga konsumsi tentu pemerintah harus mampu mengulik celah-celah penerimaan negara, baik dari sisi perpajakan maupun bea dan cukai.
Untuk perpajakan, peningkatan kepatuhan membayar pajak dari wajib pajak dan peningkatan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menangkap pajak menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Pasalnya, saat ini rasio membayar pajak Warga Negara Indonesia hanya 11 persen, masih kalah dari beberapa negara tetangga yang berada sekitar 15 persen.
"Dalam waktu empat tahun, rasio kepatuhan pajak Indonesia harus 15 persen. Lalu, 18 persen dalam 10 tahun dan di 2025 harus 20 persen," kata Yustinus.
Yang harus dilakukan pemerintah, pertama, merealisasikan rencana penerbitan satu kartu identitas sekaligus kartu transaksi agar seluruh aktivitas ekonomi masyarakat dapat terpantau jelas.
Kedua, melakukan digitalisasi perpajakan, baik administrasi hingga penyelidikan. Ketiga, revisi Undang-Undang Perbankan yang dipercaya mampu melicinkan kerja para fiskus dalam mendeteksi sumber-sumber pajak yang selama ini tak kasat mata.
Di samping melakukan hal-hal tersebut, yang ketiga, pemerintah harus pula mengatur pengenaan tarif bea keluar yang kooperatif dan ekstensifikasi cukai terhadap minuman ringan berpemanis, bahan bakar minyak (BBM), dan kendaraan bermotor untuk mendongkrak penerimaan.
"Tinggal pemerintah dalam satu sampai dua tahun ke depan memasang target penerimaan dan belanja yang realistis atau berpuasa memasang target tinggi," imbuh Yustinus. Terakhir, ekspor dan impor. Kinerja neraca perdagangan sepanjang tahun lalu membukukan surplus mencapai US$8,78 miliar dengan ekspor US$144,43 miliar dan impor US$135,65 miliar.
Realisasi neraca perdagangan memang meningkat sekitar 14,47 persen dibandingkan 2015. Hanya saja, nilai ekspor tergolong melemah akibat sentimen perlambatan ekonomi global dan fluktuasi harga komoditas di awal 2016.
Sedangkan dari sisi impor, masih didominasi oleh impor barang konsumsi dan impor untuk bahan baku dan bahan penolong justru turun.
Enny menilai, pemerintah harus serius menggedor industri dalam negeri untuk mendapatkan peningkatan ekspor dan rendahnya impor konsumsi yang kemudian lebih cenderung mengimpor bahan baku untuk kemudian diolah oleh industri manufaktur dalam negeri.
Untuk ekspor, pemerintah perlu serius melakukan hilirisasi agar nilai tambah dan daya saing produk lokal kian meningkat dan dapat mendongkrak ekspor.
"Hilirisasi nomor satu karena efeknya membuat Indonesia tidak bergantung pada ekspor komoditas, membuat lebih banyak industri yang bergerak, dan menciptakan lapangan kerja," jelas Enny.
Adapun industri yang dinilai masih memiliki daya saing, yakni industri sektor pertanian dan hilirnya, seperti makanan dan minuman serta pengelolaan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO). Lalu, industri dasar, seperti hilirisasi pertambangan dengan membangun smelter.
Kemudian, industri tekstil dan produk tesktil (TPT) dan perikanan yang disebut Enny mengalami peningkatan cukup menjanjikan sepanjang tahun lalu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menambahkan, sektor pariwisata dan konstruksi juga berpotensi ditingkatkan karena diperkirakan memiliki sumbangan yang besar pada ekonomi Indonesia bersamaan dengan langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenjot dua sektor tersebut.
"Bersamaan dengan rencana pemerintah membangun infrastruktur dengan pengalokasian anggaran yang jor-joran ke infrastruktur seharusnya sektor konstruksi ikut kecipratan," kata Faisal.