Jakarta, CNN Indonesia -- Industri penunjang kegiatan hulu migas berharap pemerintah tidak mengabaikan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di dalam kegiatan hulu migas selepas mengubah ketentuan bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) dari skema cost recovery menjadi gross split.
Ketua Dewan Pimpinan Bidang Industri Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas (Guspenmigas) Willem Siahaya menjelaskan, tidak ada kewajiban bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menggunakan TKDN di dalam PSC gross split, di mana hal ini tidak sama ketika PSC masih berbentuk cost recovery.
Ia menambahkan, tidak ada proteksi pemerintah untuk penggunaan TKDN bisa berujung mengenaskan. Karena menurutnya, sebagian besar KKKS lebih senang menggunakan produk penunjang migas impor karena dirasa lebih murah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Willem memberi contoh barang penunjang migas dari China yang terbilang murah karena praktik dumping dan insentif pengurangan bea ekspor dari pemerintah sebesar 17 persen.
Sementara itu, produk penunjang migas Indonesia malah dikenakan kewajiban fiskal sebesar 43 persen terhadap harga jualnya, sehingga membuat daya saingnya kalah dibanding produk impor.
Meski demikian, ia tak bisa menyebut tren kenaikan produk penunjang impor antar tahun karena investasi hulu migas sangat tergantung dengan harga minyak.
"Kami dari asosiasi mendukung dan menghargai keputusan pemerintah dalam melakukan PSC gross split. Asal, jangan lupa memberdayakan barang dan jasa dalam negeri. Kalau tidak ada keberpihakan pemerintah, maka industri kami akan selalu kena gempuran produk impor," jelas Willem di Kementerian Perindustrian, Senin (13/2).
Padahal menurutnya, banyak sekali produk penunjang hulu migas yang sudah bisa diproduksi dalam negeri seperti pipa pengeboran, pipa salur, hingga kompresor. Jika ini tidak diserap di industri hulu migas nasional, ia khawatir produksi industri malah jadi mubazir.
Maka dari itu, ia meminta keran impor produk penunjang migas dibuka asal produknya memang belum tersedia di dalam negeri. Ia pun berharap, pemerintah mengenakan bea masuk yang tinggi bagi produk penunjang impor jika dimungkinkan.
"Kami tidak anti impor. Silahkan saja impor asal produknya memenuhi persyaratan. Adapun, barang baru dilarang impor asal bisa dipenuhi oleh dalam negeri," jelasnya.
Jika pemerintah tak membantu, ia meramal kondisi industri penunjang hulu migas bisa habis ketika semakin banyak kontrak migas menggunakan skema PSC gross split. Hal ini ditambah dengan insentif TKDN yang sangat sedikit di dalam ketentuan mengenai gross split.
Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017, bagi hasil (split) KKKS tidak akan bertambah jika perusahaan menggunakan TKDN di bawah 30 persen. Sementara itu, split KKKS akan bertambah 4 persen jika angka penggunaan TKDN menembus 70 hingga 100 persen.
"Dalam hal ini, kami betul-betul butuh bantuan pemerintah," jelasnya.
Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas tercatat sebesar US$12,01 miliar sepanjang tahun lalu. Angka ini lebih kecil 24,46 persen dibanding realisasi tahun sebelumnya sebesar US$15,9 miliar.
SKK Migas juga menyebut, nilai komitmen pengadaan barang dan jasa hulu migas hingga kuartal III 2016 mencapai US$6,23 miliar dengan persentase TKDN berdasarkan biaya (cost basis) sebesar 49,9 persen.