Jakarta, CNN Indonesia -- Industri penunjang hulu migas mengaku telah merumahkan 10 persen karyawannya akibat menurunnya kegiatan operasional hulu migas sebagai imbas melemahnya harga minyak dunia.
Kegiatan pengurangan karyawan dalam rangka efisiensi dilakukan sejak 2015, saat beberapa perusahaan sudah mulai mengurangi kegiatan hulu migas.
Ketua Dewan Pimpinan Bidang Industri Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas (Guspenmigas) Willem Siahaya menjelaskan, rata-rata jam kerja juga berkurang dari sebelumnya tiga
shift menjadi satu
shift saja. Industri hanya bisa gigit jari setelah terpukul permintaan yang sangat anjlok, meski ia tak merinci angka penurunan permintaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Turunnya harga minyak ini memang berat, akibatnya kami harus merumahkan pegawai sekira 10 persen. Namun tidak semuanya, ada beberapa sumber daya yang kami alihkan untuk melakukan pekerjaan lain," ujar Willem di Kementerian Perindustrian, dikutip Selasa (14/2).
Lebih lanjut ia mengatakan, minimnya kegiatan hulu migas membuat perusahaan lebih selektif dalam memilih produk penunjang. Perusahaan migas, lanjutnya, lebih senang menggunakan produk dan jasa dari luar negeri impor karena harganya lebih murah dibandingkan yang disediakan perusahaan domestik.
Ia mencontohkan produk China yang harganya bisa bersaing karena praktik dumping dan insentif pengurangan bea ekspor pemerintah China sebesar 17 persen. Sementara itu, produk dalam negeri malah dibebani kewajiban fiskal dengan nilai mencapai 43 persen dari harga jualnya.
Untuk itu, ia berharap pemerintah mau melindungi produk dalam negeri dengan melakukan proteksi seperti bea masuk anti dumping yang tinggi.
"Kami sungguh keberatan kalau dibilang harga produk kami kemahalan, karena kewajiban kami ke pemerintah mencapai 43 persen. Padahal, rata-rata semua produk penunjang migas seperti pipa pengeboran, pipa salur, hingga kompresor sudah bisa kami produksi," jelasnya.
Hambatan EksporNiatan untuk ekspor sempat terbesit. Namun, industri terlanjur patah semangat ketika rencana untuk ekspor ke Amerika Serikat (AS) kandas akibat ulah industri penunjang migas China.
Ia menuturkan, AS sempat melarang impor produk penunjang migas dari China beberapa tahun lalu. Akhirnya, industri hulu migas China mengirimkan barangnya ke Batam, mengubah dokumen produksi dan pengirimannya, dan mengapalkan kembali produknya ke AS dengan label "made in Indonesia".
Merasa dibohongi, pemerintah AS sempat mengirim timnya ke Batam untuk memeriksa hal tersebut. Setelah diverifikasi, pemerintah AS pun ikut melarang impor produk penunjang hulu migas dari Indonesia karena dianggap telah bekerjasama dengan China menyalurkan barang ilegal.
"Bahkan untuk ekspor pun kami dihambat. Kami pun tak bisa bergerak sendiri, benar-benar butuh bantuan pemerintah," tutur Willem.
Kendati demikian, ia masih optimistis permintaan produk penunjang hulu migas domestik akan membaik karena harga minyak terlihat melesat selama setahun terakhir. Meski menurutnya, permintaan tidak akan terjadi secara instan.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga minyak mentah Indonesia (
Indonesian Crude Price/ICP) pada bulan lalu bertengger di angka US$51,88 per barel, atau meningkat 88,7 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya US$27,49 per barel.
"Dengan harga minyak yang
rebound, kami kembali yakin. Namun, permintaannya tidak akan terjadi secara instan. Mungkin dibutuhkan waktu tiga hingga empat bulan bagi perusahaan migas untuk kembali mengebor," pungkas Willem.
Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas tercatat sebesar US$12,01 miliar sepanjang tahun lalu. Angka ini lebih kecil 24,46 persen dibanding realisasi tahun sebelumnya sebesar US$15,9 miliar.