Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengubah regulasi mekanisme penggunaan barang operasional migas impor demi mempercepat periode antara eksplorasi hingga produksi minyak pertama kali keluar (first oil).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, saat ini penggunaan barang eksplorasi migas impor tercantum di dalam pasal 80 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2004.
Di dalam peraturan itu, disebutkan bahwa barang eksplorasi impor harus menunjang efisiensi biaya produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika lapangan migas terbilang tidak ekonomis, maka barang operasional tersebut harus diserahkan ke negara. Namun menurutnya, pengembalian barang operasional itu membutuhkan waktu yang lama.
Hal itu membuat KKKS sulit untuk menggunakannya lagi demi mengeksplorasi Wilayah Kerja (WK) lain. Meski memang, barang-barang impor tersebut dibebaskan bea masuk impor oleh pemerintah.
"Barang tersebut digunakan untuk WK lain, maka barang tersebut harus dikembalikan ke negara. Tapi apakah itu
make sense? Padahal pengembalian barang-barang operasional itu butuh waktu, kira-kira satu hingga dua tahun lamanya. Apalagi, kalau barangnya hilang, KKKS dikenakan denda," jelas Arcandra di Kementerian ESDM, Jumat (17/2).
Untuk itu, Arcandra menyebut bahwa pemerintah akan mengubah mekanisme yang dimaksud. Nantinya, barang-barang impor untuk eksplorasi akan dikenakan bea masuk impor.
 Ilustrasi kilang. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Namun, KKKS bisa memiliki barang-barang tersebut jika tidak terbukti ekonomis di satu WK. Sehingga, barang-barang operasional tersebut bisa cepat digunakan untuk eksplorasi di WK lainnya.
Tetapi, jika barang tersebut terbukti ekonomis, maka penggunaan produk itu bisa masuk cost recovery jika lapangan tersebut terbukti menyimpan cadangan migas.
"Kalau barang itu ekonomis, maka barang itu tetap milik mereka asal membayar bea masuk. Namun kalau ekonomis, maka barang masuk cost recovery atau bisa di cost recovery-kan, sehingga tentu saja barang ini jadi milik negara. Kami berharap, mekanisme ini bisa diperbaiki," lanjutnya.
Lebih lanjut, ia pun tak ingin beberapa kejadian terkait penggunaan barang impor untuk eksplorasi terulang kembali. Ia mencontohkan sebuah KKKS yang harus mengembalikan barang impor bagi eksplorasi senilai US$500 juta ke pemerintah karena produknya dianggap tak efisien.
"Yang terjadi saat ini adalah tidak ada insentif bagi setiap barang yang dibeli oleh KKKS. Ini yang akan diubah," kata Arcandra.
Penyederhanaan mekanisme ini, tambahnya, diharapkan bisa mempercepat persiapan eksplorasi sehingga jangka waktu antara eksplorasi hingga first oil bisa dipercepat. Pasalnya, saat ini periode tersebut memakan waktu 15 tahun. Padahal, jangka waktu antara eksplorasi hingga first oil bisa mencapai lima tahun saja.
"Ini isu yang perlu kami selesaikan. Kira-kira apa yang mesti kita lakukan supaya waktu antara eksplorasi dan first oil bisa jadi dibawah lima tahun lagi?" pungkas Arcandra.
Regulasi yang MendukungSementara itu, Kepala Divisi Komersial Gas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Sampe L. Purba mengatakan, Indonesia harus menawarkan regulasi hulu migas (fiscal regime) yang menarik.
Hal itu perlu dilakukan agar investasi hulu migas bersaing dengan negara lain. Apalagi, cadangan migas Indonesia juga terbilang tidak begitu signifikan di antara negara lainnya.
Ia mengutip data British Petroleum (BP) Statistical Review Tahun 2016 yang menunjukkan bahwa cadangan minyak Indonesia hanya tinggal 3,6 miliar barel, atau hanya 0,5 persen dari total cadangan dunia. Sementara itu, cadangan terbukti gas hanya sebesar 100,3 tcf, atau 1,5 persen dari total cadangan dunia saat ini.
Maka dari itu, kemudahan regulasi dibutuhkan agar cadangan bertambah dan berujung pada peningkatan produksi migas di kemudian hari.
"Indonesia sebetulnya tidak kaya-kaya amat. Ibaratnya, kita bersaing dengan negara-negara yang kaya. Karena demikian, makanya Indonesia jangan sok kaya," ujar Sampe di kantornya kemarin.
Menurut data SKK Migas, saat ini terdapat 198 WK eksplorasi yang ada di Indonesia. Pada tahun lalu, investasi hulu migas untuk eksplorasi tercatat US$11,2 miliar atau menurun 26,79 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar US$15,3 miliar.