Jakarta, CNN Indonesia -- Saham sektor agrikultur tampaknya banyak diburu oleh pelaku pasar sepanjang pekan lalu. Setelah mengalami pelemahan pada dua pekan sebelumnya, sektor agrikultur berhasil memimpin indeks sektoral pekan lalu.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), sektor agrikultur berhasil bertengger di level 1.882,296 atau menguat 3,16 persen. Sementara, dua pekan lalu sektor agrikultur melemah 0,35 persen.
Menariknya, penguatan ini terjadi di tengah penurunan harga komoditas minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada akhir pekan lalu di level sekitar 2.855 ringgit per ton dari level pada Februari 3.300 ringgit per ton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee berpendapat, kenaikan indeks sektor agrikultur ini hanya disebabkan pengalihan aset yang dilakukan oleh pelaku pasar. Pasalnya, indeks sektor tersebut masih tertinggal jika dibandingkan dengan indeks sektor lainnya.
"Kalau dilihat karena sektor agrikultur tertinggal dengan yang lain, jadi pelaku pasar melakukan akumulasi beli. Kenaikannya juga tidak cukup banyak," ucap Hans Kwee kepada CNNIndonesia.com, Minggu (2/4).
 Ilustrasi transaksi saham. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Lebih lanjut Hans Kwee menjelaskan, dengan aksi akumulasi tersebut, harga saham emiten yang bergerak dalam sektor perkebunan mengalami tren kenaikan sepanjang pekan lalu.
Beberapa emiten yang dimaksud yakni, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Dalam hal ini, Salim Ivomas mengalami kenaikan paling tinggi dibanding dua lainnya sebesar 4,16 persen. Sementara, Perusahaan Perkebunan menguat 3,9 persen, dan Astra Agro naik tipis 1,7 persen.
"Rata-rata memang ada akumulasi, jadi naik semua," kata Hans Kwee.
Di sisi lain, analis NH Korindo Securities Bima Setiaji beranggapan, kenaikan ini juga didorong oleh kinerja positif dari Salim Ivomas dan Astra Agro sepanjang tahun lalu.
Mengacu pada laporan keuangan perusahaan masing-masing, keduanya memang mencatatkan pertumbuhan kinerja yang fantastis dengan pertumbuhan lebih dari 100 persen pada 2016. Tak tanggung-tanggung, laba bersih Astra Agro tumbuh pesat hingga 224,17 persen menjadi Rp2 triliun dari sebelumnya Rp619,1 miliar.
Sementara, Salim Ivomas meraup laba bersih sebesar Rp538,33 miliar. Angka itu naik tajam 103,53 persen dari posisi tahun 2015 yang hanya Rp264,49 miliar.
"Harga CPO sepanjang 2016 lalu naik 34 persen, kenaikan harga itu mendorong laba bersih Astra Agro dan Salim Ivomas. Hanya memang harga CPO satu minggu ini stagnan," ujar Bima.
Proyeksi SelanjutnyaBima memprediksi, harga CPO mengalami penurunan pada kuartal II 2017 ini. Pasalnya, kondisi cuaca yang sudah mulai stabil akan membuat produksi CPO meningkat. Artinya, persediaan CPO akan melimpah dari sebelumnya.
 Ilustrasi produksi kelapa sawit. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan) |
Hal ini berpotensi membuat kinerja emiten perkebunan yang tumbuh signifikan tahun lalu tidak akan terjadi lagi tahun ini. Dengan melimpahnya persediaan CPO, maka perusahaan tidak bisa menjualnya dengan harga tinggi dan pendapatan akan menurun.
"Mungkin kalau kinerja turun tidak, tapi tidak akan lebih baik dari tahun lalu," imbuh Bima.
Namun, dengan prediksi tersebut bukan berarti sektor agrikultur tidak menarik lagi bagi pelaku pasar. Bima menyebut, dengan ketertinggalan kenaikan harga saham emiten sektor agrikultur dengan emiten dari sektor lain, maka masih akan menjadi incaran pelaku pasar untuk pekan ini.
"Yang menarik agrikultur dan properti. Keduanya karena naiknya tertinggal dari sektor lainnya yang juga mengalami kenaikan, kenaikannya masih dibawah. Saya lebih suka saham tertinggal, karena harga murah," papar Bima.
Berbeda dengan Bima, Hans Kwee lebih merekomendasikan saham emiten yang akan membagikan keuntungan (dividen) kepada pemegang saham, seperti perbankan dan konstruksi.
"Sebenarnya transaksi saham emiten agrikultur tidak terlalu kinclong, jadi masih kurang jadi pilihan," tandas Hans Kwee.