Pemerintah Tak Berani Ambil Risiko Tambah Cadangan Migas

CNN Indonesia
Selasa, 16 Mei 2017 19:09 WIB
Pengamat menilai pemerintah tak berani ambil risiko terkait kegiatan eksplorasi yang dibutuhkan untuk menambah cadangan baru minyak dan gas bumi dalam negeri.
Indonesia diperkirakan akan mengimpor minyak mentah mencapai 2,2 juta barel per hari di tahun 2025 mendatang dan akan meningkat menjadi 4,6 juta barel di tahun 2050. (ANTARA FOTO/HO/Pertamina)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dianggap kurang berani mengambil risiko terkait kegiatan eksplorasi yang dibutuhkan guna menambah cadangan baru minyak dan gas bumi (migas) di dalam negeri. Padahal, peran pemerintah dianggap penting untuk menciptakan daya tarik investasi migas yang atraktif.

Pengamat Energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, hal tersebut tercermin dari pemberlakuan sistem bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) yang terkesan berat sebelah. Pasalnya, di dalam sistem tersebut, pemerintah baru akan membantu kontraktor jika eksplorasi berhasil. Namun, jika eksplorasi gagal, pemerintah seolah tak mau ikut membantu biaya yang dikeluarkan kontraktor dalam melakukan kegiatan tersebut.

Padahal menurutnya, biaya eksplorasi tidak lah murah. Ia mencontohkan, satu pengeboran eksplorasi di laut dalam, bisa menelan biaya US$100 juta hingga US$120 juta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemerintah harus lebih friendly kepada investor, makanya pemerintah harus berani take a risk. Tapi apakah sejauh ini pemerintah bersedia take a risk? Sejauh ini sih tidak," papar Pri Agung, Selasa (16/5).

Ia menduga, pemerintah memilih untuk "cari aman" karena memandang sektor hulu migas tidak lagi berdampak signifikan bagi pendapatan negara. Tahun ini misalnya, target PNBP migas dipatok Rp63,7 triliun, lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu Rp44,9 triliun. Namun, PNBP tersebut jauh lebih rendah dibandingkan 10 tahun lalu yang mencapai Rp158,08 triliun.

"Ada pandangan hulu migas ini sudah tidak signifikan lagi di APBN. Sebetulnya memang betul juga kalau APBN tidak boleh bergantung dengan penerimaan migas. Namun, bukan berarti hal tersebut dibenarkan karena bahayanya lebih besar lagi," paparnya.

Pri Agung juga menilai, kebijakan pemerintah di sektor hulu migas juga terkesan menitikberatkan penghematan anggaran negara. Hal ini, terlihat dari kerancuan sistem perpajakan antara yang tercantum dalam PSC dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, pemerintah juga terkesan menghindari polemik cost recovery dengan pemberlakuan PSC Gross Split.

Padahal, dengan tidak melakukan eksplorasi, potensi sumber daya migas selamanya tidak akan berubah menjadi cadangan terbukti. Akibatnya, produksi migas akan terus menurun dan kewalahan memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga dibutukan impor minyak mentah dalam jumlah besar di masa depan.

Menurut perhitungan yang dilakukannya, Indonesia setidaknya akan mengimpor minyak mentah 2,2 juta barel per hari di tahun 2025 mendatang dan akan meningkat menjadi 4,6 juta barel di tahun 2050. Semakin banyak impor, maka hal tersebut akan merembet ke neraca pembayaran Indonesia dan berimplikasi ke nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), impor minyak pada kuartal pertama tahun ini sudah meningkat dari US$4,2 miliar dibanding kuartal sebelumnya US$5,4 miliar.

"Kalau tidak ada produksi, nanti aktivitas impor bisa berimplikasi ke devisa dan ke nilai tukar. Justru nanti di masa depan, dari sisi anggaran negara juga ujung-ujungnya malah lebih tidak bagus," lanjutnya.

Dia pun berharap pemerintah lebih berani mengambil risiko agar investor tertarik melakukan eksplorasi di Indonesia. Apalagi, saat ini perkiraan sumber daya migas yang belum berubah menjadi cadangan terbukti cukup banyak, yakni mencapai 151 miliar barel.

"Mengubah sumber daya ke cadangan butuh investasi. Hal inilah yang perlu diperhatikan agar Indonesia bisa menjadi investor friendly," paparnya.

Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) investasi hulu migas untuk eksplorasi pada tahun lalu tercatat US$11,2 miliar. Angka ini menurun 26,79 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar US$15,3 miliar.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER