Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah emiten batu bara masuk dalam daftar Morgan Stanley Capital International (MSCI) Indonesia Index untuk kategori kapitalisasi pasar kecil atau disebut juga dengan MSCI Global Small Cap Indexes.
Sekadar informasi, Morgan Stanley memasukan 10 emiten baru dalam daftar MSCI Indonesia Index. Meski sudah merombak daftar sejak 15 Mei kemarin, tetapi daftar baru ini baru mulai berlaku pada Juni mendatang.
Adapun 10 emiten baru yang masuk dalam daftar MSCI Indonesia Index, di antaranya PT Blue Bird Tbk (BIRD), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID), PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Indofarma Tbk (INAF), dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, PT MNC Investama Tbk (BHIT), PT Pelat Timah Nusantara (NIKL), PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA), dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).
Umumnya, Morgan Stanley hanya melakukan perubahan atau perombakan dua kali dalam setahun untuk MSCI Indonesia Index. Perombakan biasanya dilakukan pada bulan Mei dan November.
Indeks tersebut akan menjadi acuan bagi investor global dan perusahaan manajer investasi dalam melakukan transaksi di pasar modal. Artinya, bukan tidak mungkin seluruh emiten yang masuk dalam daftar MSCI akan diburu oleh investor asing.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava menjelaskan, Bumi Resources masuk kembali dalam MSCI setelah dalam empat tahun terakhir nama perusahaan tidak tercantum di daftar MSCI.
Beberapa faktor yang menurutnya mendorong Bumi Resources masuk dalam MSCI, yakni kapitalisasi pasar, kinerja keuangan, dan tingkat likuiditas.
"Ya, seluruh faktor itu yang menjadi faktornya. Kemudian, kemampuan investasi sebagai kriteria utama," terang Dileep kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (16/5).
Sementara itu, perusahaan juga akan segera menerbitkan saham baru melalui skema
rights issue sebesar US$2,6 miliar dengan nilai Rp926 per saham sebagai salah satu upaya perusahaan melakukan restrukturisasi utang. Sehingga, adanya perputaran arus kas diakui Dileep akan menghasilkan keuntungan tersendiri bagi perusahaan.
"Kinerja yang mengungguli operasi dan peningkatan lebih baik, dan peningkatan tata kelola perusahaan diharapkan dapat memperbarui dari level kapitalisasi kecil ke kategori yang lebih tinggi," papar Dileep.
Sepakat dengan Dileep, Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menjelaskan, adanya nama Bumi Resources di MSCI memang tidak terlepas dari tingkat likuiditas saham setiap harinya.
Alfred mengaku, saham Bumi Resources terbilang laris di pasar modal. Menurutnya, rata-rata transaksi harian emiten tersebut hampir Rp200 miliar per hari.
"Kalau dilihat yang paling pertama cukup berkontribusi masuk MSCI itu likuiditas sahamnya sama faktor fundamental," ucap Alfred.
Asal tahu saja, jumlah itu jauh diatas dari rata-rata transaksi harian emiten batu bara lainnya yang masuk dalam MSCI, seperti PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) sebesar Rp80 miliar per hari dan PT Harum Energy Tbk (HRUM) sebesar Rp15 miliar-Rp18 miliar per hari.
Selain karena likuiditas, lanjut Alfred, kinerja keuangan perusahaan pada kuartal I 2017 juga ikut menjadi pertimbangan agar emiten dapat masuk dalam daftar MSCI. Hal itu mencerminkan kondisi fundamental perusahaan.
Misalnya saja, Bumi Resources yang membukukan kinerja yang cukup baik dalam tiga bulan pertama tahun ini. Laba bersih perusahaan naik signifikan 291,73 persen menjadi US$88,04 juta dari sebelumnya US$22,47 juta.
Kemudian, laba bersih Harum Energy juga tercatat naik 850,16 persen menjadi US$12,36 juta dari sebelumnya US$1,3 juta. Sementara, laba bersih Delta Dunia meningkat hingga 675,51 persen dari US$3,06 juta menjadi US$23,74 juta.
Dengan masuknya beberapa emiten batu bara ke dalam indeks MSCI, otomatis akan menaikan kembali harga saham emiten batu bara yang telah mengalami tren penurunan beberapa pekan terakhir seiring dengan turunnya harga komoditas tersebut. Seperti diketahui, sudah dua pekan berturut-turut indeks sektor tambang menjadi sektor yang mengalami penurunan paling dalam dibandingkan dengan sektor lainnya yang juga mengalami pelemahan.
Meski memang penurunan indeks sektor tambang pekan lalu lebih tipis, yakni 4,72 persen ke level 1.350,621. Sementara penurunan pekan sebelumnya mencapai 7,3 persen di level 1.417,505.
"Dengan masuknya beberapa emiten batu bara ini ke MSCI jadi ada keyakinan dari pasar terhadap
outlook batu bara," jelas Alfred.
Hal ini disebabkan, beberapa perusahaan manajer investasi dan investor global biasanya langsung memasukan emiten yang masuk dalam MSCI sebagai portofolionya. Terlebih lagi bagi perusahaan manajer investasi yang juga akan melepas beberapa emiten yang dihapus dari daftar MSCI.
"Jadi memang ini jelas berpengaruh," imbuh Alfred.
Alfred memang tidak menapik penurunan harga komoditas batu bara yang terjadi beberapa waktu terakhir. Namun, harga batu bara yang melejit hingga menembus US$100 per metrik ton tahun lalu tentu menjadi pertimbangan Morgan Stanley berani memasukan emiten batu bara ke dalam daftar acuan investor global.
"Iya memang mengalami penurunan, tapi dari 2016 naiknya cukup kuat. Namun walaupun turun tahun ini tapi kalau dilihat rata-ratanya masih cukup baik di US$75-US$80 per metrik ton," jelasnya.
Di sisi lain, Direktur Investas Saran Mandiri Hans Kwee menganggap, indeks MSCI memang akan menjadi amunisi bagi beberapa emiten batu bara, khususnya emiten yang masuk dalam daftar indeksnya. Namun, bukan berarti harga saham emiten batu bara langsung meningkat tajam atau positif dalam jangka panjang.
"Kalau Morgan Stanley memasukan emiten batu bara mungkin memang bisa mengangkat tapi agak berat juga untuk naik jangka panjang," ujar Hans.
Hal ini tak terlepas dari sentimen global seiring dengan rencana beberapa negara yang akan mengurangi pemakaian batu bara dalam pembangunan pembangkit listriknya.
"Ya mungkin masih akan tertekan, tapi tidak anjlok sahamnya," pungkas Hans.