Bankir Usul Premi Restrukturisasi Sesuai Likuiditas Bank

CNN Indonesia
Jumat, 26 Mei 2017 00:31 WIB
Premi Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) nantinya akan digunakan untuk membiayai program restrukturisasi perbankan jika terjadi krissi keuangan.
Berdasarkan kajian historis, dana hasil dari pungutan premi untuk restrukturisasi perbankan seharusnya mencapai dua hingga tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). (REUTERS/Garry Lotulung)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengusulkan, besaran premi tambahan yang akan dikenakan Lembaha Penjamin Simpanan (LPS) untuk Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) disesuaikan dengan kondisi likuditas bank.

Kondisi tersebut dapat diukur menggunakan rasio pinjaman terhadap pendanaan (LFR). Jika LFR rendah, maka premi restrukturisasi yang ditanggung bank sebaiknya semakin rendah.

"Kalau LFR rendah berarti bank kan makin liquid. Kalau semakin liquid, risiko kesulitan dana kan semakin sedikit," kata Jahja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Premi PRP sendiri merupakan amanat Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Premi PRP nantinya akan digunakan untuk membiayai program restrukturisasi perbankan jika terjadi krissi keuangan.

Premi tersebut, dipungut oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dan dipisahkan dari premi penjaminan yang saat ini dipungut lembaga tersebut.

Direktur Keuangan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko berharap premi restrukturisasi ditetapkan serendah mungkin. Adapun hingga kini, Iman mengaku industri perbankan hingga kini belum diajak untuk berdialog khusus terkait besaran pungutan premi tersebut.
"Sepertinya tidak ada dialog dengan industri. Namun, (besar premi) langsung ditetapkan oleh regulator," kata Iman.

Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan menjelaskan, berdasarkan kajian historis, dana hasil dari pungutan premi untuk restrukturisasi perbankan seharusnya mencapai dua hingga tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, dia mengaku, pihaknya dan Kementerian Keuangan hingga kini belum menentukan besaran premi yang akan dipungut.

Adapun besaran pungutan tersebut akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) setelah sebelumnya dibahas oleh pemangku kebijakan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat DPR).

"Besaran premi PRP yang akan dikenakan kepada perbankan ini masih menjadi perdebatan," ungkap Fauzi.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) meminta besaran premi tambahan untuk Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) tak memberatkan industri. Pasalnya, industri perbankan saat ini masih dalam proses pemulihan kinerja setelah menghadapi perekonomian yang melambat sejak tahun lalu.

"Kalau memungut biaya untuk program restukturisasi perbankan ataupun yang lain, kalau bisa tidak terlalu memberatkan bank, karena mereka (mereka) sedang dalam taraf pemulihan," tutur Agus usai peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) di Gedung Thamrin BI, Rabu (24/5).

Langkah Cegah Krisis

Selain mengamanatkan pungutan premi tambahan tersebut, UU PPKSK menurut Agus, juga mengamanatkan bank untuk mempersiapkan langkah-langkah pencegahan krisis keuangan.

Langkah tersebut antara lain, penyusunan rencana pemulihan (recovery plan) dan persiapan obligasi yang dapat dikonversi menjadi tambahan modal (convertible bonds).

Adapun guna ikut mencegah krisis keuangan, BI menurut dia juga telah menetapkan kebijakan terkait tambahan modal bank berupa "Countercyclical Capital Buffer" (CCB). CCB merupakan tambahan modal yang harus dikeluarkan bank ketika laju pertumbuhan kredit tengah tinggi dan berisko mengganggu stabilitas sistem keuangan. 

Saat ini, menurut Agus, pihaknya masih menetapkan CCB sebesar nol persen. Hal ini melihat laju pertumbuhan kredit yang masih lambat sehingga tidak menimbulkan potensi risiko sistemik pada sistem keuangan.

"Kalau nanti kondisi perbankan sudah sangat aktif, pertumbuhan kredit sudah tinggi, baru kami akan mengeluarkan aturan yang counterciclycal," jelasnya.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER