Pemerintah Antisipasi Nasabah Pecah Saldo Rekening

CNN Indonesia
Jumat, 09 Jun 2017 11:23 WIB
Pemecahan saldo rekening mungkin dilakukan masyarakat guna menjaga saldo dibawah Rp1 miliar sehingga tak masuk kriteria yang wajib dilaporkan bank ke pajak
Pemerintah menilai industri perbankan tak perlu khawatir bila sektornya akan mengalami gangguan akibat penarikan dana secara massal seiring kewajiban pelaporan dana bagi nasabah yang memiliki saldo minimal Rp1 miliar kepada Direktorat Jenderal Pajak. (REUTERS/Wahyu Putro A/Antara Foto_
Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah memperkirakan, masyarakat tidak akan memecah saldo rekeningnya ke beberapa rekening guna menghindari datanya ikut dilaporkan oleh bank kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kendati demikian, pemerintah mengaku tetap akan mengantisipasi jika praktik tersebut benar-benar terjadi.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan, hal tersebut sering dengan asumsi bahwa nasabah dengan saldo akhir sebesar Rp1 miliar merupakan kalangan wajib pajak yang patuh atau sudah membayar pajak dengan benar. Dengan demikian, mereka tak akan khawatir bila datanya dilihat olh DJP.

"Sebenarnya tidak ada (pengaruh). Kalau yang punya uang Rp1 miliar, misalnya pejabat, yang punya saham, profesi tertentu, itu kalau sudah dapat gaji, sudah dipotong pajak, sudah bayar pajak," ucap Suahasil di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (8/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan demikian, Suahasil melihat, tak ada potensi nasabah akan memecah saldo yang dimilikinya ke beberapa rekening lain. Pemecahan saldo, misalnya saldo Rp1 miliar pada satu rekening dibagi masing-masing Rp500 juta ke dalam dua rekening. Dengan demikian, rekening tersebut tak wajib dilaporkan sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Pemeriksaan Perpajakan.

Untuk itu, dia menilai industri perbankan tak perlu khawatir bila sektornya akan mengalami gangguan akibat penarikan dana secara massal dari perbankan.

Kendati demikian, Suahasil mengaku, pemerintah tetap akan memetakan sejumlah langkah untuk mengantisipasi berbagai dampak yang mungkin muncul dari pelaksanaan sistem keterbukaan dan akses pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI) ini, termasuk penarikan uang hingga pemecahan saldo rekening.

"Kalau niatnya memang tidak patuh, banyak caranya. Jadi, kalau ada kemungkinan begini, apa mungkin kita tidak buat kebijakannya? Ya, kita bikin saja. Kalau memang ada yang di bawah Rp1 miliar, ya dia tidak akan masuk ke database," jelas Suahasil.

Di sisi lain, Suahasil menegaskan bahwa pelaksanaan sistem AEoI benar-benar dimaksudkan oleh pemerintah untuk menjaring basis data wajib pajak seluas-luasnya. Dia pun mengklaim pemerintah tak mengejar penerimaan pajak dari pemeriksaan yang dilakukan usai berhasil melihat data nasabah lembaga jasa keuangan.

"Database ini supaya Indonesia sejajar dengan negara lain yang ikut kesepakatan AEoI. Bukan masalah penerimaan pajak tapi masalah martabat kita. Itu bagian dari kesepakatan internasional," tekan Suahasil.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiatmadja mengaku kemungkinan nasabah untuk membagi dananya yang semula berada di satu rekening ke dalam beberapa rekening mungkin terjadi. Hal tersebut dilakukan lantaran ingin menghindari jumlah saldonya masuk dalam kriteria yang wajib dilaporkan bank ke DJP.

Sementara itu, Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengaku masih akan mengamati dampak yang mungkin timbul dari kebijakan pembukaan data nasabah tersebut Jika dibutuhkan, menurut dia, OJK nantinya dapat melakukan penelusuran rekening nasabah jika terjadi perpindahan dana yang dianggap mencurigakan oleh bank. Kendati demikian, Nelson mengaku yakin praktik pemecahan saldo rekening tak akan marak terjadi.

"Kami akan lihat dulu seperti apa (dampaknya). Tapi saya yakin tidak akan muncul praktik-praktik seperti itu (membagi dana dalam beberapa rekening)," ujar Nelson.

Ganjal Inklusi Keuangan

Disisi lain, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai sikap tak konsisten pemerintah dalam menetapkan besaran saldo nasabah yang bisa diintip oleh pajak berpotensi menimbulkan kekawatiran masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Padahal, Presiden Joko Widodo sebelumnya menargetkan pemanfaatan layanan (inklusi) keuangan dapat meningkat dan mencapai 75 persen pada 2019 mendatang.

"Jangan sampai (kebijakan) ini jadi disinsentif bagi masyarakat untuk menyimpan dananya di perbankan. Seharusnya masyarakat bisa didorong untuk lebih banyak memanfaatkan sektor perbankan untuk simpan uangnya," kata Enny.

Jika inklusi keuangan terhambat menurut Eny, Dana Pihak Perbankan (DPK) akan sulit terdongkrak. Padahal, pertumbuhan DPK mutlak dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan kredit dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi.

Adapun Bank Indonesia pada tahun ini menargetkan laju pertumbuhan kredit akan berada dikisaran 10 persen hingga 12 persen. Sementara itu, hingga Mei 2017, penyaluran kredit tercatat tumbuh sebesar 9,8 persen (yoy).
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER