Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku, kebijakan pemerintah mengubah saldo minimal rekening wajib yang dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai upaya untuk menekan kekhawatiran pelaku usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Sekadar mengingatkan, pemerintah baru-baru ini memutuskan mengubah saldo minimal rekening wajib lapor pajak dari Rp200 juta menjadi Rp1 miliar. Langkah ini diambil pemerintah setelah melakukan diskusi dengan masyarakat dan pelaku industri keuangan.
Selain menekan kekhawatiran pelaku UMKM, Sri Mulyani mengungkapkan, kenaikan batas saldo minimal rekening wajib lapor pajak tersebut juga bakal mengurangi beban lembaga keuangan untuk melaporkan ke otoritas terkait.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini laporannya hanya satu tahun sekali. Kalau saldo minimal rendah, maka beban pelaporan akan tinggi," ujarnya, Jumat (9/6).
Sri Mulyani juga menekankan, UMKM tidak perlu khawatir dengan adanya keterbukaan informasi data nasabah ini. Ia mengklaim, upaya ini telah mempertimbangkan prinsip keadilan.
"Kami tetap melakukan upaya untuk mendukung UMKM, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 mengenai rate final pajak UMKM sebesar satu persen dari omzet," tegas Sri Mulyani.
Diharapkan, pelaku UMKM tetap tunduk dan patuh melaporkan data perpajakannya. Toh, penerimaan pajak dari masyarakat pada dasarnya akan diperuntukkan kembali untuk membantu pengembangan UMKM, nelayan, petani, maupun mahasiswa.
Data Lembaga Penjaminan Sosial (LPS), kata Sri Mulyani, menunjukkan jumlah rekening nasabah yang memiliki dana sampai Rp200 juta mencapai 199 juta rekening atau sekitar 19,53 persen dari nilai simpanan.
Sementara, terdapat 1,81 juta akun yang memiliki saldo sekitar Rp200 juta-Rp1 miliar, dengan nilai simpanan 16,25 persen dari total simpanan.
"Untuk rekening di atas Rp1 miliar ada 496 ribu akun, yaitu 0,25 persen dari jumlah akun, tetapi meliputi 64,22 persen dari total simpanan," papar mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Sayangnya, jumlah data yang dimiliki LPS tidak sama dengan data Wajib Pajak (WP) yang melakukan kewajibannya dalam program pengampunan pajak atau tax amnesty. Data tax amnesty menunjukkan, WP yang memiliki kas dan setara kas di bawah Rp200 juta mencapai 248 ribu atau 32,18 persen dari total WP yang melapor.
Kemudian, total deklarasi kas dan setara kas sebesar Rp200 juta-Rp1 miliar ada 232 ribu WP atau 30,13 persen. "Deklarasi kas dan setara kas di atas Rp1 miliar ada 291,331 WP atau 37.69 persen," terang Sri Mulyani.
Namun demikian, perubahan ini hanya diperuntukkan bagi lembaga jasa keuangan di sektor perbankan untuk orang pribadi, sektor perasuransian, dan sektor perkoperasian.
Sementara, untuk perbankan yang dimiliki entitas, sektor pasar modal, dan perdagangan berjangka komoditi tetap tanpa batasan saldo minimal. Kemudian, lembaga jasa keuangan internasional tetap dengan saldo minimal US$250 ribu.
Adapun, teknis pelaporannya, lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan entitas lainnya, harus memberikan pelaporan selambat-lambatnya 30 April 2018 untuk data keuangan per 31 Desember 2017 kepada DJP.
Begitu pula dengan lembaga jasa keuangan di negara lain yang tergabung dalam perjanjian internasional, perlu memberikan datanya paling lambat 30 April 2018.
Sementara, untuk pelaporan dari lembaga jasa keuangan yang tak otomatis, dalam arti dilakukan sesuai permintaan oleh DJP, perlu melaporkan data keuangan nasabah paling lambat 1 Agustus 2018 kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selanjutnya, paling telat pada 31 Agustus 2018 OJK memberikan data tersebut kepada DJP.