Para pensiunan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menuding bank pelat merah tersebut menyelewengkan dana pensiun yang merupakan hak pensiun pegawai hingga Rp550,67 miliar. Pensiunan yang tergabung dalam Forum Perjuangan Pensiun (FPP) BNI tersebut menilai bahwa instansi keuangan tempat mereka bekerja selama ini telah melakukan praktik penyalahgunaan keuangan.
Perwakilan FPP-BNI Martinus Nuroso mengatakan, praktik-praktik tak sehat tersebut, antara lain terkait pembayaran pesangon, manfaat pensiun bulanan, tunjangan hari tua, jaminan hari tua dari Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (sekarang BPJS Ketenagakerjaan), serta perawatan kesehatan pensiunan dan keluarganya.
Hitung-hitungan FPP-BNI, dugaan praktik penyalahgunaan dana pensiun tersebut diperkirakan berpotensi merugikan Rp550,67 miliar. Jumlah itu berasal dari kekurangan pesangon 255 anggota FPP-BNI sebesar Rp153,67 miliar, kekurangan pensiun bulanan dari 566 anggota sebesar Rp254,2 miliar, dan kekurangan tunjangan hari tua 565 anggota sebesar Rp142,81 miliar.
Lihat juga:Jokowi Teken Aturan THR dan Gaji ke-13 PNS |
“Bahkan, Rp550 miliar itu belum termasuk hitungan kerugian Jaminan Hari Tua (JHT) dan suplesi manfaat Pensiun. Kalau JHT dan suplesi manfaat dihitung kerugian sekitar Rp700 miliar," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).
Karena hal itulah, FPP-BNI membawa persoalan ini ke meja Otoritas Jasa Keuangan. FPP-BNI menemui Komisioner OJK, kemarin. Forum yang beranggotakan 820 pensiunan BNI tersebut terbentuk sejak 2013 lalu. Pembentukan didasari oleh ketidakpuasan para pensiunan atas manfaat program kesejahteraan purna kerja.
Sejak terbentuk, FPP BNI terus memperjuangkan hak pensiunan mereka yang diyakini masih menjadi utang BNI. Sebelum mampir ke meja OJK, forum ini pernah mengadu ke Kementerian Tenaga Kerja, Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi IX DPR dan Presiden Joko Widodo.
Sayang, informasi yang disampaikan FPP-BNI itu belum membuahkan hasil. Bahkan, hingga kini, manajemen perseroan tidak pernah menemui FPP-BNI. Alasannya, perseroan hanya mengakui Persatuan Pensiunan BNI yang menaungi para pegawai purna tugas BNI. Adapun, Persatuan Pensiunan BNI beranggotakan sekitar 10.000 orang.
"Saya sudah berusaha bertemu, tapi mereka (manajemen BNI) menolak. Saya juga sudah menulis surat kepada Dewan Komisaris BNI tetapi tidak ditanggapi," jelas Martinus.
Pengaduan ke OJK tercatat sudah dilakukan sebanyak tujuh kali. Hal itu sesuai dengan hasil rapat Komisi IX DPR mengingat permasalahan ini menyangkut kekurangan pembayaran uang pensiun, THT, dan JHT. Sementara, untuk persoalan pesangon, FPP-BNI melayangkan aduan ke Kemenaker.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Martinus mengungkapkan, bank BUMN itu melakukan tindakan penggelapan atas sejumlah uang pesangon pekerja. Indikatornya, sisa pembayaran uang pesangon yang menjadi hak pensiunan tidak dibayarkan kepada para tenaga kerja hingga kini.
Selain itu, pihak BNI dinilai telah melakukan kesalahan dalam menerapkan penggunaan rumus perhitungan uang pesangon pasal 167 ayat 3 Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana dituangkan dalam Surat Divisi HCT yang ditujukan kepada Dana Pensiun BNI cf Surat No. HCT/4/04277 tertanggal 29 November 2011.
Dalam perkembangannya, pihak BNI setuju untuk menggunakan pasal 167 ayat (3) UU 13 Nomor 2013, namun penerapan atas ketentuan tersebut dilakukan menyimpang. Perseroan memberlakukan perhitungan dimana iuran pensiun yang berasal dari BNI ditarik kembali dari uang pensiun.
Artinya, seolah-olah seluruh iuran dana pensiun menjadi beban pekerja atau dibayar penuh oleh pekerja. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun bagian III pasal 15. Akibatnya, jumlah uang pesangon yang diterima pegawai jadi lebih kecil atau hanya sekitar 20 persen dari nilai yang diyakini hak.
"Manfaat pensiun bulanan kami juga dilakukan rekayasa dengan melanggar UU Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Kami terima hanya 30 persen dari yang seharusnya," imbuhnya.
Terkait THT, sambung Martinus, perseroan dinilai melakukan tindakan penyalahgunaan hukum, dimana pemberlakukan UU Nomor 11 Tahun 1992 yang dilaksanakan oleh manajemen BNI pada Juli 2000 silam diberlakukan surut pada semua tenaga kerja.
Tak Akui FPP-BNI
FPP BNI mengancam, apabila perusahaan tidak juga memenuhi hak pensiunan yang dianggap terutang, maka forum akan mengambil beberapa langkah hukum didampingi kuasa hukum. Pertama, melaporkan persoalan ke Bursa Efek Indonesia dan meminta penghentian sementara (suspend) perdagangan saham BNI.
“Karena hak-hak kami belum dibayarkan, BNI itu masih berutang. Jadi, laporan keuangannya kami anggap tidak benar, terjadi pembohongan,” terang Martinus.
Kedua, forum juga akan meminta BNI dipailitkan, mengingat hak-hak pensiun yang belum dipenuhi berdasarkan UU Kepailitan.
Sekretaris Perusahaan BNI Ryan Kiryanto mengaku, tak tahu-menahu permasalahan yang disampaikan FPP-BNI. Bahkan, ia tak mengakui keberadaan FPP-BNI, lantaran pensiunan perusahaan memiliki organisasi resmi, Persatuan Pensiun BNI. “Saya baru mendengar,” ungkapnya.
Ryan juga mengingatkan bahwa BNI merupakan perusahaan terbuka yang memiliki laporan keuangan audited setiap tahunnya. Artinya, ia menegaskan, laporan keuangan perusahaan dianggap jelas dan bersih (clean and clear).
Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non Bank OJK Firdaus Djaelani membenarkan bahwa ia melakukan pertemuan dengan FPP-BNI yang menyambangi kantornya. Namun, ia enggan memberikan tanggapan terlalu dini.
"Saya kan baru menerima, saya harus mempelajari dulu," pungkasnya.