Jakarta, CNN Indonesia -- PT PLN (Persero) menyatakan masih membukukan utang sebesar Rp200 triliun terhitung sejak semester I 2017. Adapun, utang tersebut bersifat jangka panjang dengan rata-rata tenor mencapai 30 tahun lamanya.
Meski demikian, Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto mengatakan, hingga saat ini posisi keuangan PLN masih terbilang aman. Pasalnya, hingga saat ini, PLN masih bisa membayar utang-utang jatuh temponya sesuai tenggat waktu yang diberikan.
Selain itu, karena utang berbentuk jangka panjang, maka pengembalian utang disebar rata ke seluruh periode masa tenor. Sehingga, ia yakin perusahaan masih bisa membayar utang-utang tersebut di mass depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ada utang Rp200 triliun, tapi tetap kami akan selesaikan kewajiban kami. Meski ada utang Rp200 triliun, tapi pembayaran gantinya kami spread biar tidak mengganggu masalah likuiditas," ujar Sarwono ditemui di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (5/7).
Ia melanjutkan, seluruh utang jatuh tempo yang perlu dibayar tahun ini pun sudah dibayar. Sayang, ia enggan menyebut angka utang yang sudah jatuh tempo di tahun ini.
"Tidak ada utang jatuh tempo tahun ini, semua sudah dibayar," katanya.
Demi menjaga likuiditas, perusahaan berupaya untuk melakukan diversifikasi sumber pendanaan, salah satu bentuk pencarian dana yang telah dilakukan PLN adalah sekuritisasi aset melalui skema Efek Beragun Aset (EBA) yang dimulai tahun ini. Adapun, pelaksanaan sekuritisasi ini merupakan yang pertama kali dilakukan PLN.
Di dalam sekuritisasi tahap pertama, rencananya PLN akan menjaminkan piutang PLN atas PPA PT Indonesia Power dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Ia berharap, PLN bisa meraih dana Rp5 triliun hingga Rp10 triliun dari aksi korporasi ini.
"Sekuritisasi ini sebenarnya adalah bentuk investasi yang relatif baru di kami, supaya investor punya pilihan jadi tidak itu-itu saja," pungkasnya.
Menurut laporan keuangan PLN per akhir 2016, PLN memiliki liabilitas jangka panjang sebanyak Rp272,15 triliun atau menurun 30,11 persen dibanding tahun sebelumnya Rp389,44 triliun.
Dari angka tersebut, porsi terbesar berasal dari utang perbankan dengan nilai Rp100,36 triliun, atau 36,87 persen dari total pinjaman. Selain itu, perusahaan juga mencatat utang obligasi dan sukuk sebesar Rp68,82 triliun.