Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menaikkan target pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara Perubahan (RAPBNP) 2017 menjadi 5,2 persen dari 5,1 persen pada APBN 2017. Berbanding terbalik, pemerintah justru memutuskan untuk memangkas target penerimaan perpajakan sebesar Rp50 triliun dari Rp1.498,9 triliun menjadi Rp1.450,9 triliun. Kendati demikian, target tersebut diperkirakan akan kembali meleset di akhir tahun ini.
Pengamat Pajak dari Danny Darussalam Tax Center Bawono Kristiaji mengungkapkan, dipangkasnya target penerimaan pajak ditengah revisi pertumbuhan ekonomi ke atas menunjukkan semakin tidak responsifnya pertumbuhan ekonomi terhadap penerimaan pajak. Saat ini, menurut dia tingkat elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penerimaan pajak
(tax bouyancy) berada dibawah satu.
"Saya menduga ini antara lain disebabkan laju pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi di sektor-sektor non-
tradable atau tidak menyerap banyak tenaga kerja," ujar Bawono kepada CNNIndonesia.com, Jumat (7/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada RAPBN 2017, pemerintah memangkas target penerimaan pada pajak penghasilan (PPh) non migas, pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Berdasarkan RAPBNP 2017, PPh non migas dipangkas dari Rp751,77 triliun menjadi Rp722,2 triliun, PPn dari Rp493,89 triliun menjadi Rp475,8 triliun, dan PBB dari Rp17,29 triliun menjadi Rp15,41 triliun. PPh non migas dipangkas dari Rp751,77 triliun menjadi Rp722,2 triliun, PPn dari Rp493,89 triliun menjadi Rp475,8 triliun, dan PBB dari Rp17,29 triliun menjadi Rp15,41 triliun.
"PPh dan PPn adalah kotributor penerimaan pajak. Jadi, jika kedua jenis pajak tersebut terganggu, otomatis target penerimaan pajak kita terganggu," terang dia.
Bawono pun memproyeksi target penerimaan pajak hingga akhir tahun ini akan berada pada kisaran Rp1.226 triliun hingga Rp1.241 triliun. Proyeksi tersebut berada dibawah target penerimaan pajak yang sudah dipangkas pemerintah dalam RAPBNP 2017 sebesar Rp1.261 triliun.
Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga memproyeksi, penerimaan pajak di akhir tahun ini akan kembali meleset.
"Perkiraan penerimaan pajak hanya Rp1.075 triliun dari target Rp1.261 triliun atau hanya sekitar 85 persen," ujar Yustinus.
Dengan proyeksi tersebut, Yustinus melihat target pertumbuhan penerimaan pajak yang ikut dipangkas pemerintah dari 16,1 persen menjadi 12,9 persen juga masih berat untuk dicapai. Pasalnya, ada tren tahunan yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak akan stagnan di awal semester II dan baru sedikit membaik jelang akhir tahun.
Selain itu, faktor lainnya, sambung Yustinus, lantaran pemerintah lambat memproses pertambahan basis data perpajakan yang telah didapat dari program pengampunan pajak (tax amnesty). Pemerintah menurut dia, seharusnya segera menyelesaikan berbagai landasan hukum untuk memanfaatkan dan menindaklanjuti basis data perpajakan yang telah didapat dari tax amnesty tersebut. Landasan hukum yang dimaksud, misalnya Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Kendati begitu, Yustinus melihat bahwa akselerasi tersebut memang tidak dapat dilakukan dengan cepat. Namun, perbaikan regulasi, sistem, dan kelembagaan di sisi perpajakan menjadi hal yang mutlak dilakukan.
"Segera selesaikan, sehingga bisa dilakukan tindakan pasca tax amnesty dengan cepat. Lalu pengawasan ditingkatkan, terutama terhadap data hasil tax amnesty yang berpotensi menghasilkan tambahan pajak baru," jelas Yustinus.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memproyeksi, penerimaan perpajakan sampai akhir tahun hanya akan mencapai Rp1.102,7 triliun atau sekitar 76 persen dari target RAPBNP 2017 sebesar Rp1.450,9 triliun.
"Tahun lalu ada dua periode tax amnesty sedangkan 2017 cuma satu tahap. Semester dua tahun ini tidak ada dorongan penerimaan pajak lagi," kata Bhima.
Dengan potensi meleset kembali penerimaan perpajakan, Bhima melihat bahwa pemerintah perlu segera mencari sumber penerimaan lain, misalnya perluasan objek kena cukai melalui ekstensifikasi dan menindaklanjuti basis data perpajakan dari tax amnesty.
Pasalnya, sumber penerimaan perpajakan yang diincar pemerintah melalui amnesti pajak dan keterbukaan informasi tak dapat dilakukan dengan cepat. "Bisa tiga sampai lima tahun baru masuk ke kas negara (pungutan pajaknya) karena proses penyidikan wajib pajak terkendala dengan jumlah sumber daya manusia pajak yang ada," jelas Bhima.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, pemangkasan target penerimaan perpajakan dilatarbelakangi oleh lambatnya pertumbuhan perpajakan di semester I lalu. Penerimaan pajak tercatat baru mencapai Rp571,9 triliun atau 38,15 persen dari target awal. Realisasi ini juga menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan hanya tumbuh 9,6 persen dibandingkan semester I 2016.
Padahal, pemerintah berharap pertumbuhan di akhir tahun bisa tumbuh 16,6 persen. Adapun dengan pemangkasan tersebut, target pertumbuhan perpajakan hanya 12,9 persen di tahun ini.
"Penurunan target ini merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan target yang lebih realistis," ucap Darmin.
Kendati memangkas target peneriman perpajakan, pemerintah melihat ada potensi untuk menggenjot PNBP. Hal ini terlihat dari realisasi PNBP semester I 2017 yang sudah mencapai Rp146,1 triliun atau sekitar 58,44 persen dari target.
Realisasinya dirasa mampu melampaui target di akhir tahun lantaran ada sentimen positif dari kenaikan harga minyak yang melebih target pemerintah sebesar US$45 per barel dan perubahan asumsi nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dari Rp13.300 per dolar AS menjadi Rp13.400 per dolar AS.
"Harga minyak per Juni US$49 per barel, lebih tinggi dari asumsi APBN 2017. Ini juga dibantu dengan dipertahankannya lifting, makanya lifting tidak berubah," kata Darmin.
Bersamaan dengan itu, Darmin memproyeksi, penerimaan dari sumber daya alam (SDA) migas akan meningkat hampir Rp100 triliun atau 9,9 persen dari target awal, yaitu dari Rp87 triliun menjadi Rp95,6 triliun di R-APBNP 2017.
Sedangkan PNBP SDA non migas diproyeksi meningkat Rp100 miliar menjadi Rp23,4 triliun dan PNBP lainnya diperkirakan bisa meningkat Rp500 miliar karena adanya tambahan bagian pemerintah dari surplus Bank Indonesia (BI) sebesar Rp1,7 triliun. "Selain itu ada tambahan budget pemerintah atas surplus BI meskipun target PNBP atas Kementerian/Lembaga bergeser pada Badan Layanan Umum karena perubahan status," imbuh Darmin.