Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, langkah pemerintah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap komoditas gula memang dilakukan atas dasar putusan Mahkamah Agung (MA). Kendati demikian, pemerintah masih menggodok langkah tersebut.
Putusan itu berasal dari hasil uji materi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
Menurut Darmin, mulanya pemerintah tak berinisiatif untuk menarik pungutan pajak terhadap barang hasil pertanian strategis. Namun, tiba-tiba muncul permintaan dari pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk melakukan uji materi terhadap PP 31/2007 tersebut dan kemudian diputuskan MA kena pajak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati begitu, Darmin melihat bahwa sebaiknya pungutan PPN terhadap gula dilakukan secara final oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu). Alasannya, agar pungutan pajak terhadap komoditas gula yang dibebankan kepada petani gula tebu menjadi kecil nilai pajaknya.
"Mungkin salah satu jalan keluar karena itu sudah kena putusan MA maka difinalkan saja (pajaknya) supaya kecil nilainya. Saya juga mengusulkan untuk bunga macam-macam difinalkan," ujar Darmin di Gedung DPR, Senin (10/7).
Namun, di tahap selanjutnya, Darmin mengatakan bahwa dari internal pemerintah akan segera duduk bersama untuk menindaklanjuti putusan dari MA tersebut.
"Mungkin dalam beberapa hari ini, kami mau rapat dengan DJP," kata Darmin.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiasteadi melihat, dengan adanya hasil putusan dari MA tersebut, tentu otomatis komoditas gula perlu dipungut pajaknya. Namun, pada dasarnya pemerintah tak ingin membebani para petani, sehingga DJP berencana menyuruh para petani untuk membuat koperasi unit desa.
"Jadi badan hukum sehingga PPN yang ditarik pabrik gula bisa dikreditkan lagi. Lalu, dia restitusi. Pajak masukan bisa dikreditkan," ucap Ken pada kesempatan yang sama.
Ken menjelaskan, dengan membentuk koperasi atau unit badan hukum, para petani tersebut jadi memiliki suatu badan yang bisa dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
"Kalau inidividu tidak sampai Rp4,8 miliar (seharusnya tidak kena pajak). Jadi, syaratnya jadi PKP, kalo koperasi kan bisa di atas itu (pendapatan kena pajaknya)," terang Ken.
Kendati begitu, Ken bermaksud untuk mendengarkan lebih dulu suara dari para petani dan pedagang gula agar kebijakan pungutan pajak pada komoditas gula ini dapat diciptakan dan dijalankan dengan lebih baik di kemudian hari. Rencananya, sambung Ken, ia akan mengundang para petani dan pedagang gula pada Kamis besok (13/7) ke Kantor Pusat DJP Kemenkeu.
Di sisi lain, pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo melihat, memang pemerintah, baik dari Kementerian Keuangan hingga Kementerian Pertanian perlu duduk bersama dengan asosiasi petani dan pedagang gula dalam menciptakan skema pemungutan pajak tersebut agar tercipta keadilan bagi semua kalangan.
Namun, ia menilai sejatinya komoditas tersebut pantas dikenakan pajak. Hanya saja, ketentuan petani terkena pajak atau tidak tetap merujuk pada status PKP yang melekat.
"Meski yang menyerahkan pabrik gula atau PT, sepanjang omzetnya tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun dan belum PKP, maka tidak perlu dipungut PPN," jelas Yustinus.
Sehingga, bila petani menjadi PKP, tentu mereka perlu dipungut PPN sebesar 10 persen yang dibebankan kepada pembeli. Artinya, PPN dikenakan sebagai PPN keluaran.
Sedangkan sebelumnya, beberapa petani gula menyatakan keberatan atas kebijakan pemerintah yang berdasarkan putusan MA karena mewajibkan pemungutan PPN atas komoditas gula.