Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menampik bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 menyebabkan kerugian bagi fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Indonesia.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan, ruginya berbagai investasi smelter ini berasal imbas dari anjloknya harga nikel dunia dan meningkatnya biaya produksi.
Ia menjelaskan, saat ini terjadi penurunan permintaan nikel pada industri
stainless steel di kuartal II 2017. Selain itu, permintaan tersebut juga tidak sejalan dengan surplus produksi dari tahun 2016 dan meningkatnya pasokan nikel dari Filipina. Akibatnya, harga nikel dunia jadi loyo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di saat yang bersamaan, harga kokas juga meningkat dari US$100 per ton di bulan Desember lalu menjadi US$200 per ton pada Mei 2017. Adapun, kokas merupakan bahan baku utama bagi smelter berbasis
blast furnace.
"Tidak tepat jika PP Nomor 1 Tahun 2017 menimbulkan kerugian bagi pengusaha smelter nikel sehingga menyebabkan ditutupnya operasi produksi smelter nikel di tanah air," ujar Sujatmiko melalui keterangan resmi dikutip Senin (24/7).
Tingginya biaya produksi, lanjutnya, memang susah dikendalikan karena harga batu bara tidak mampu diprediksi. Sementara itu, penggunaan kokas diperkirakan mencapai 40 persen dari total seluruh biaya produksi. Tak heran, kombinasi permintaan dan biaya produksi ini bikin investasi smelter gulung tikar.
"Beberapa tahun belakangan ini harga minyak mentah dunia rendah. Kami juga ingat bagaimana lesunya harga batu bara, namun kemudian membaik. Demikian juga dengan mineral. Saat ini mungkin harganya rendah, tapi suatu saat akan rebound. Fluktuasi harga tersebut kecenderungannya akan berulang dalam jangka waktu tertentu," imbuhnya.
Tak hanya itu, ia juga menampik bahwa aktivitas di Indonesia sangat mempengaruhi harga nikel dunia. Pasalnya, merujuk United State Geological Survey, Indonesia hanya memiliki enam persen total cadangan dunia dan hanya menyuplai 7 persen kebutuhan nikel dunia.
"Pemasok utama adalah Filipina, lebih dari 22 persen dan disusul Rusia dan Kanada masing-masing sekitar 11 persen. Sementara Australia dan Kaledonia Baru masing-masing sekitar 9 persen. Jadi tidak tepat kalau dikatakan harga nikel dunia terkontrol oleh ekspor terbatas nikel kadar rendah dari Indonesia," katanya.
Meski membuka keran ekspor, pemerintah menjamin bahwa pelaksanaannya dilakukan secara ketat. Ekspor hanya bisa dilakukan jika perusahaan telah benar-benar terbukti memiliki kemampuan secara teknologi, bahan baku, keuangan dan sumber daya manusia.
Sujatmiko juga menegaskan bahwa hasil akhir PP Nomor 1 Tahun 2017 adalah peningkatan nilai tambah mineral logam dalam negeri. "Pemerintah terus berupaya mendorong pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri agar memberikan manfaat yang optimal bagi negara," pungkasnya.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mengatakan ada 11 smelter yang tutup dan 12 smelter yang terancam kolaps setelah PP Nomor 1 Tahun 2017, Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 diterbitkan.
Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo menyebut, hal ini lantaran harga nikel jatuh setelah pemerintah mengumumkan relaksasi ekspor. Harga tersebut sayngnya tidak mampu menutupi beban produksinya.
"Dari yang tutup, kebanyakan enggan diekspos karena mereka gengsi kalau mau tutup. Sebagian masih ada urusan dengan perbankan dan sebagian tak mau diumumkan karena takut ada gejolak dengan karyawan," ujar Jonatan.