Jakarta, CNN Indonesia -- Bisnis pembangkit berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terbilang menggiurkan. Dengan potensi yang besar, sumber daya energi terbarukan di Indonesia kini menunggu untuk digarap.
Apalagi, target pemerintah untuk bauran energi EBT terbilang cukup ambisius. Menurut data PT PLN (Persero), EBT sekiranya akan mengambil porsi 22,4 persen di dalam bauran energi tahun 2026 mendatang. Angka ini, dua kali lipat lebih besar dibanding posisi akhir 2016 yang mencapai 11,9 persen.
Peluang bisnis ini pun tak serta merta dilewatkan oleh pelaku usaha energi primer, khususnya batu bara. Beberapa perusahaan tambang batu bara skala besar kini tengah mengincar proyek pembangkit EBT sebagai lini bisnis jangka panjang perusahaan. Pasalnya, pertambangan batu bara tidak bersifat permanen, bahkan siklus bisnisnya sangat tergantung dengan pergolakan harganya.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian Potensi Bisnis Energi Baru dan Terbarukan |
PT Adaro Energy Tbk, contohnya. Perusahaan tambang yang melantai di bursa ini mengatakan, bisnis ketenagalistrikan merupakan visi masa depan perusahaan. Oleh karenanya, melalui anak usaha PT Adaro Power, perusahaan aktif bergerak mencari cuan dengan memproduksi setrum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun, saat ini perusahaan tengah merealisasikan dua proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yaitu Batang dengan kapasitas 2x1.000 Megawatt (MW) dan Tabalong dengan kapasitas 2x100 MW. Tak puas di PLTU, kini perusahaan mulai merambah di bisnis EBT.
Wakil Direktur Utama Adaro Power Dharma Djojonegoro mengatakan, pembangkit EBT memiliki daya tarik tersendiri karena potensinya yang sangat besar. Dengan cakupan yang lebih luas, ia berharap elektrifikasi Indonesia bisa terbantu dengan kehadiran pembangkit EBT.
Oleh karenanya, perusahaan memutuskan untuk mengikuti lelang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Sumatera. "Ini merupakan wujud komitmen penuh Adaro dalam mendukung dan menyukseskan program elektrifikasi yg dicanangkan pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Dharma kepada CNNIndonesia.com.
 (ANTARA FOTO/Andika Wahyu/Asf/pd/15) |
Selain itu, peluang bisnis EBT harus segera ditangkap mengingat energi primer akan semakin ditinggalkan di kemudian hari. Terlebih, Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemanfaatan EBT bisa mencapai 31 persen pada 2050 mendatang.
Oleh karenanya, lanjut Dharma, perusahaan juga ingin menyesuaikan portofolio pembangkit dengan target bauran energi yang dicanangkan pemerintah.
"Secara bertahap memang ingin diversifikasi ke pembangkit non-batu bara. Ke depan, kami juga ingin mereplika bauran energi untuk Adaro," imbuhnya.
Di sisi lain, perusahaan tambang batu bara pelat merah, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (Persero) Tbk juga tidak mau ketinggalan.
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin beralasan, masyarakat lambat laun akan meninggalkan penggunaan energi primer dan beralih ke EBT karena sadar akan emisi gas buang yang dihasilkan energi fosil. Bahkan, tren ini juga tengah berkembang di negara-negara maju.
Tak mau kehilangan peluang, ia menyebut bahwa pengembangan pembangkit EBT sudah masuk di dalam proyeksi bisnis jangka panjang perusahaan. Sebagai permulaan, kini perusahaan tengah menjajaki tiga lelang PLTS yang dihelat oleh PLN.
Menurutnya, lokasi tambang perusahaan cukup luas, sehingga bisa mengakomodasi panel-panel surya dalam jumlah cukup banyak. Ia bilang, PTBA punya lahan tidak aktif sebesar 30 ribu hektare (ha) dari total lahan pertambangan 93 ribu ha. Adapun setiap 2 ha lahan bisa menampung solar cell berkapasitas 1 Megawatt (MW). Dengan demikian, potensi lahan tambang PTBA diharapkan bisa menghasilkan listrik hingga 15 ribu MW.
"Melihat kondisi yang ada, kami antisipasi dari sekarang karena semuanya masuk ke renewable energy. Makanya, dalam business plan kami siapkan sekarang demi transformasi dari bisnis batubara," kata Arviyan.
Selain itu, ia menilai biaya perawatan pembangkit listrik EBT lebih murah dibanding batu bara. "Perawatan PLTS ini dua saja, untuk mengelap kaca panel surya dan berdoa. Berdoa agar panas mataharinya terus cukup," katanya.
Meski begitu, keduanya mengakui bahwa pengembangan EBT membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sehingga, hal itu bisa berdampak kepada tarif setrum yang nantinya dijual PLN.
Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, dukungan pemerintah dalam bentuk insentif sangat penting karena Indonesia perlu bersaing dengan negara lain demi menarik minat pemodal. Investasi Malaysia, contohnya, saat ini dianggap menarik karena tarif listriknya dihargai US$0,15 per Kilowatt-Hour (KWh). Begitu pun Thailand dan Filipina yang masing-masing dihargai US$0,16 dan US$0,17 per KWh.
Sementara itu, menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017, tarif setrum pembangkit EBT saat ini dihargai 85 persen dari Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) regional. Ini dikecualikan pada tarif listrik dari pembangkit tenaga sampah dan panas bumi yang dipatok 100 persen dari BPP regional.
"Kalau di Indonesia ditentukan harganya US$0,08 per KWh, siapa yang mau investasi? Menurut saya, renewable masih belum ideal," jelas Garibaldi.
Setali tiga uang, Arviyan bilang bahwa biaya yang mahal bisa menjadi halangan pengembang. Namun, perusahaan juga harus tahu bagaimana caranya menimalisasi biayanya. Oleh karenanya, penggunaan teknologi yang efisien menjadi kunci pengembangan pembangkit EBT.
Ia mencontohkan, saat ini perusahaan tengah mempertimbangkan teknologi Amerika Serikat atau China. Adapun, teknologi itu harus disesuaikan dengan tingkatan panas surya di Indonesia.
"Teknologinya belum ada yang murah, karena kami ingin agar tarif listrik yang kami jual bisa di bawah US$0,1 per Kilowatt-hour (KWh)," imbuhnya.
Di sisi lain, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah membuka peluang untuk memberikan insentif tambahan bagi pembangkit EBT. Asal, insentif yang sudah ada memang benar-benar dianggap belum mumpuni untuk dunia usaha.
Menurutnya, lumrah saja pelaku usaha meminta insentif. Asal, pelaku usaha juga bisa berlaku adil terhadap masyarakat. Dengan kata lain, insentif yang diberikan harus dikompensasi dengan tarif listrik yang lebih efisien.
"Kami terbuka agar energy mix tercapai, apakah itu dari surya, bayu, atau biomassa. Kami memperbaiki diri, jika ada yang belum bisa ditutupi dengan stimulus, kami akan pertimbangkan (insentif tambahan). Termasuk revisi Peraturan Menteri," kata Arcandra.