Jakarta, CNN Indonesia -- Genap 72 tahun sudah Indonesia merdeka. Dahulu kemerdekaan melulu soal terbebas dari penjajahan teritorial. Kini setelah masuk dalam daftar negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kemerdekaan finansial rakyat Indonesia menjadi salah satu tujuan.
Lo Kheng Hong. Namanya mungkin sudah tidak asing lagi di industri pasar modal. Pria yang dijuluki sebagai Warren Buffet dari Indonesia ini merupakan investor ritel yang sudah mengantongi keuntungan sekitar ratusan ribu persen dari saham.
Saham PT Gajah Surya Multi Finance Tbk menjadi yang pertama yang ia beli pada tahun 1989. Sayang, harga saham emiten itu turun ketika dicatatkan (
listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI) bila dibandingkan dengan harga saat penawaran umum saham perdana (
Initial Public Offering/IPO).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menariknya, awal mula yang tidak menyenangkan itu tidak lantas membuat Lo Kheng Hong berhenti dan ragu untuk lanjut berinvestasi saham. Padahal, ia kembali rugi ketika membeli saham untuk kedua kalinya. Saat itu saham IPO PT Astra Graphia Tbk yang membuatnya rugi.
Lo Kheng Hong terpaksa kembali menjual sahamnya seperti yang ia lakukan pada saat pertama kali membeli saham, tetapi lagi-lagi merugi.
"Kalau rugi kemudian kapok, malu dong sama Thomas Alfa Edison yang sudah gagal 9.955 kali untuk menyalakan lampu pijar dengan menggunakan listrik. Thomas tidak kapok dan akhirnya berhasil," cerita Lo Kheng Hong kepada
CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Setelah berinvestasi selama tujuh tahun, Lo Kheng Hong akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai Kepala Cabang di Bank Ekonomi pada tahun 1996. Ia yakin saham bisa menjadi sumber penopang kehidupan. Bahkan, bisa membuat orang itu menjadi orang terkaya di dunia.
"Ini sudah dibuktikan oleh Warren Buffet," imbuhnya.
![[17] Memperjuangkan Kemerdekaan Finansial di Bursa Saham](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2016/12/08/71951be5-7bc2-47ad-8109-a15cc6e8a35a_169.jpg?w=620) (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kini, Lo Kheng Hong memetik buah kesabaran dan keuletannya dalam berinvestasi saham. Keuntungannya sudah mencapai 200.000 persen bila dihitung sejak 1998 hingga saat ini.
Pria berusia 58 tahun ini memutuskan untuk menjadi investor jangka panjang demi meraih
return tinggi. Ia mengaku tidak pernah memasang target keuntungan tiap bulan. Namun nyatanya, kesejahteraan hidup bisa diraihnya meski tanpa pekerjaan formal.
"Kalau seseorang menargetkan keuntungan setiap bulannya, dan pasar turun, sangat sulit bagi investor untuk memperoleh keuntungan disaat pasar turun," terang Lo Kheng Hong.
Sementara, investor ritel lainnya Yakeus Jumianus mengaku hanya menjadikan keuntungan dari pasar modal sebagai pendapatan tambahan. Maklum, jumlah imbal hasil yang diraih tiap bulan tidak lebih dari gaji bulanannya.
"Tetap lebih besar gaji, ini kan hanya sambilan. Kecuali modalnya besar, untungnya juga besar. Berbanding lurus kok," cerita Yakeus.
Bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai operator, Yakeus mulai berinvestasi saham pada tahun 2012 dengan modal Rp10 juta. Berbeda dengan Lo, Yakues memilih untuk menjadi investor jangka pendek atau trader harian.
"Saya membeli saham harian, naik 2 persen-4 persen jual. Kalau turun juga langsung jual, jadi belum untuk jangka panjang," ungkap Yakeus.
Kendati demikian, Yakeus bercerita, ia pernah meraih keuntungan hingga Rp10 juta dalam sehari dari saham emiten PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk (MCOR).
Pernah untung, tentu juga pernah rugi. Namun, total kerugiannya tidak pernah lebih dari Rp10 juta. Pasalnya, ia memilih langsung menjual sahamnya ketika mengalami penurunan.
"Sekali jual bisa ratusan ribu (ruginya), atau Rp1 juta-Rp2 juta," terang Yakeus.
Lo Kheng Hong dan Yakeus mungkin hanya contoh investor ritel dari beberapa investor ritel lokal di Indonesia. Bedanya, Lo Kheng Hong sudah merdeka secara finansial dari hasil berdagang saham, sedangkan Yakeus masih terbilang baru.
Jumlah investor ritel lokal saat terbilang masih jauh dari total penduduk di Indonesia. Meski Indonesia telah merdeka selama 72 tahun dan pasar modal telah hadir selama 40 tahun, penetrasi saham ke masyarakat belum maksimal.
Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, pada akhir Juli 2017 jumlah investor lokal hanya sebanyak 568.923 atau 0,02 persen dari total penduduk Indonesia yang sebanyak 270 juta penduduk.
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan jumlah investor lokal terbilang tipis. Pada Desember 2012, investor lokal tercatat sebanyak 267.995. Kemudian, dua tahun kemudian hanya tumbuh menjadi 350.020.
Selanjutnya, jumlah investor akhirnya berhasil tembus menjadi 418.791 pada tahun 2015 dan ditutup di angka 518.814 pada akhir Desember 2016.
Bila dibandingkan dengan seluruh jumlah investor lokal di pasar modal, jumlah investor ritel ini berkontribusi hingga 98,96 persen. Sementara, sisanya merupakan institusi.
Sayangnya, meski menang dalam hal jumlah akun, investor ritel hanya menggenggam 16,61 persen dari seluruh saham di lantai bursa. Angka itu berbanding terbalik dengan jumlah portofolio saham institusi yang mencapai 83,39 persen.
Selain itu, jumlah investor saham ini dikatakan jauh berbeda dengan pemilik rekening simpanan bank di Indonesia yang mencapai jutaan. Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total rekening simpanan yang dijamin pada akhir Mei 2017 mencapai 212.680.776 rekening.
Angka itu naik 5.795.353 rekening atau 2,8 persen dari jumlah rekening April 2017 sebanyak 206.885.423 rekening. Secara rinci, total rekening dengan simpanan sampai Rp2 miliar sebanyak 212.439.502 dan terdapat 241.274 rekening dengan saldo diatas Rp2 miliar.
Data-data tersebut mengindikasikan mayoritas masyarakat lebih memilih menyimpan dananya di perbankan daripada mencari keuntungan di pasar modal.
Berbagai upaya pun telah dilakukan oleh pihak BEI maupun KSEI untuk menjaring masyarakat masuk ke pasar modal. Misalnya saja, BEI gencar membangun galeri investasi di beberapa kampus, baik yang berada di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa sejak tahun 2000.
Direktur Pengembangan BEI Nicky Hougan mengatakan, beberapa kegiatan edukasi dibentuk setelah galeri investasi dibuka di kampus. Kegiatan itu berupa seminar, pembentukan kelompok studi pasar modal, dan kompetisi pasar modal.
Saat ini, ada sekitar 250 galeri investasi. Mayoritas galeri investasi dibangun dalam dua tahun terakhir, seiring dengan turunnya biaya setoran awal investasi saham menjadi Rp100 ribu dari sebelumnya yang mencapai Rp10 juta.
"Catatan bursa dua tahun terakhir ini lebih dari 150 galeri investasi, ini karena ada momentum yang memungkinkan kami lebih agresif ke mahasiswa atau publik karena bisa mulai dengan Rp100 ribu," papar Nicky.
Selain galeri investasi, BEI juga mengadakan kampanye Yuk Nabung Saham sejak 2015 lalu. Dengan kampanye tersebut, BEI berharap pola pikir masyarakat mulai berubah untuk menabung di pasar modal dibandingkan hanya sekadar mengendapkan dananya di perbankan.
"Tahun 2016 kelihatannya mulai berbuah ada tambahan lebih dari 100 ribu investor, tahun ini lebih dari 20 persen investor baru terlihat aktif dalam transaksi bulanan," kata Nicky.
![[Lapsus] Memperjuangkan Kemerdekaan Finansial di Bursa Saham](https://images.detik.com/community/media/visual/2016/12/08/af10346a-e96f-4f59-94ce-8a9d9256f2de_169.jpg?w=620) Aktivitas perdagangan saham. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selanjutnya, jelas Nicky, pihaknya juga rutin membuat sekolah pasar modal untuk masyarakat umum. Selain itu, BEI juga sudah mulai masuk ke pedesaan terpencil untuk mengedukasi masyarakat pedalaman dalam berinvestasi saham.
Menurutnya, pertanyaan yang seringkali muncul dari warga desa ketika program edukasi berlangsung di Balai Desa, yakni terkait dengan setoran modal awal.
"Pak berapa modal awalnya, berapa setorannya? Itu yang paling sering ditanyakan," ungkap Nicky.
Sementara itu, KSEI akan memberikan dukungan dengan membangun infrastruktur untuk memberikan kemudahan pembukaan rekening kepada investor ritel. Umumnya, KSEI akan bekerja sama dengan perusahaan efek dan beberapa bank.
"Proses pembukaan rekening efek dan Rekening Dana Nasabah (RDN) dari calon investor di daerah yang bisa sampai dua minggu, bisa dipersingkat menjadi kurang dari 1 jam," kata Direktur KSEI Syafruddin.
Namun, infrastruktur ini juga perlu didukung oleh perusahaan efek. Pasalnya, jika perusahaan efek belum mengubah mekanisme pendaftaran atau pembukaan RDN, maka infrastruktur yang dibangun oleh KSEI akan percuma.
"Kalau masyarakat sudah mau tapi perusahaan efek masih pakai cara konvensional, jadi tidak optimal," sambung Syafruddin.
Adapun, Nicky menjelaskan, bukan hanya penambahan investor yang perlu diperhatikan. Namun, jumlah transaksi investor ritel tiap bulannya juga menjadi fokus BEI.
"Nah sejauh ini dari rata-rata nilai transaksi Rp7,5 triliun, sekitar 30 persen dari ritel," ujar Nicky. Pengamat pasar modal Irwan Ariston Napitupulu menilai, edukasi pasar modal di Indonesia terbilang terlambat. Sehingga, penetrasi ke masyarakat belum maksimal hingga saat ini.
Menurutnya, edukasi kepada mahasiswa ataupun sekolah pasar modal yang dilakukan oleh BEI tidak memberikan pengetahuan yang komprehensif kepada publik.
Ia menyarankan, BEI mulai bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) untuk merangsek hingga ke sekolah dasar (SD). Pasar modal dinilainya perlu untuk masuk sebagai salah satu kurikulum atau mata pelajaran di SD.
"Jadi kan yang penting tahu dulu ada investasi namanya saham. Mereka bisa termotivasi, 'Saya harus sukses', dengan berinvestasi di saham," ucap Irwan.
Namun, jika memasukan kurikulum membutuhkan waktu lama, maka untuk jangka pendeknya BEI bisa membuat kompetisi untuk anak SD terkait investasi saham. Selain itu, membuat kelompok belajar dan
gathering di SD tentang pasar modal juga bisa menjadi alternatif lain.
"Kemudian BEI juga bisa membuat
website apa itu saham, tapi khusus misalnya untuk anak SD, SMP, SMA," sambungnya.
Menurut Irwan, praktik pelajaran pasar modal di beberapa SD sebenarnya sudah dilakukan di Amerika Serikat. Sehingga, penetrasi investasi saham di negara tersebut jauh lebih maju dibandingkan dengan Indonesia.
![[Lapsus] Memperjuangkan Kemerdekaan Finansial di Bursa Saham](https://images.detik.com/community/media/visual/2016/11/03/8e71fd96-9408-497c-b31e-4b77cd7d13a5_169.jpg?w=620) Ilustrasi edukasi pasar modal. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sementara itu, analis Oso Sekuritas Riska Afriani menuturkan, kunci dari pemerataan informasi hanya dari edukasi. Masalahnya, masyarakat kelas menengah ke atas pun masih banyak yang belum mengerti dengan pasar modal.
Ia melihat, masih kecilnya jumlah investor di Indonesia bukan hanya persoalan kesenjangan antara kelas menengah atas dan bawah masih tinggi. Namun, kondisi ini juga terkait dengan pilihan masyarakat kelas menengah dan menegah ke atas yang masih percaya dengan perbankan dalam menyimpan dananya.
"Jumlah orang kaya kan tidak mungkin hanya nol koma sekian persen atau hanya 1 persen. Buktinya jumlah tabungan meningkat," kata Riska.
Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin per Maret 2017 sebanyak 27,7 juta atau meningkat 6.900 orang jika dibandingkan dengan September 2016 yang sebanyak 27,76 juta. Sementara, ada 37 juta rumah tangga yang masuk dalam kelas menengah atau 60 persen dari total penduduk Indonesia.
Artinya, jika masyarakat kelas menengah tersebut memiliki pengetahuan tentang saham, maka dipastikan pertumbuhan investor ritel akan signifikan setiap tahunnya.
Menurutnya, beberapa hal yang masih perlu dilakukan BEI, yakni memperbanyak iklan terkait jumlah return yang bisa didapat oleh investor saham tiap bulan atau per tahunnya. Selain itu, tata cara pembelian saham juga dapat menjadi materi dari iklan tersebut.
"Banyak yang masih belum tahu harus ke mana, sementara banyak juga yang tidak tahu perusahaan sekuritas itu apa," ucap Riska.
Selain melakukan edukasi kepada mahasiswa dan masyarakat desa, BEI juga bisa mulai merambah ke beberapa kantor untuk memberikan kelas pelatihan. Pasalnya, masih banyak karyawan yang hanya tahu tentang reksa dana, tapi tidak dengan saham.
"Kan yang punya uang karyawan. Jadi mungkin bisa kerja sama dengan perusahaan sekuritas. Jadi tidak hanya direktur utama yang main saham, tapi juga
office boy," sambungnya.
Menurutnya, pertumbuhan investor ritel dapat melumpuhkan ketergantungan pasar modal Indonesia dari investor asing. Pasalnya, meski jumlah investor asing semakin berkurang, porsi kepemilikan saham mereka masih mendominasi.