Jakarta, CNN Indonesia -- Tangan Maryatun (64) dengan cekatan membungkus bawang merah dicampur bawang putih dengan koran bekas saat terik matahari bulan Agustus menyengat tajam. Di bawah tenda sempit yang beratapkan terpal biru, Maryatun semangat meladeni pembeli di Pasar Enjo Jatinegara, Jakarta.
Maryatun telah menempuh 35 tahun berjualan sayur di pasar yang terletak tak jauh dari Stasiun Jatinegara itu. Dari usahanya ini, ia bersyukur telah mampu menyekolahkan tiga anaknya hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
Banyak pengalaman pahit yang ia rasakan selama berdagang di Pasar Enjo. Mulai dari kebakaran, digusur petugas keamanan, hingga kehilangan pelanggan setia yang secara perlahan mulai beralih ke supermarket.
Ia berkisah, perubahan zaman dan generasi membuat tradisi berbelanja di pasar tradisional menjadi tidak menarik bagi anak muda. Kesan pasar tradisional yang kumuh, becek dan semrawut sepertinya masih melekat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu ibunya belanja di saya, sekarang anaknya belanjanya sudah di supermarket," ujar Maryatun saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, Rabu (8/8).
Pasar tradisional Enjo berdiri di atas lahan seluas 8.084 meter persegi dengan kapasitas sebanyak 940 kios. Berdasarkan data PD Pasar Jaya, pada tahun 2001 jumlah pedagang yang berdagang di pasar tersebut mencapai lebih dari 700 pedagang. Namun hingga kini jumlah tersebut terus menurun akibat beberapa faktor.
![[17] Ketika Pedagang Kecil Merasa Terjajah di Negeri Sendiri](https://images.detik.com/community/media/visual/2017/08/14/a93f4503-2092-4c25-9a16-619c0a57b231_169.jpg?w=620) (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari) |
Kepala Pasar Enjo, Agus Darmanto menjelaskan Pasar Enjo sebelum direvitalisasi kondisinya becek dan sering tergenang banjir.
"Pedagang dan pembeli sama-sama tidak nyaman beraktivitas di pasar seperti itu," ujarnya.
Kata Agus, akhirnya setelah melalui beberapa kali pertemuan, sebanyak 625 orang pedagang Pasar Enjo yang sepakat untuk pindah dan ditempatkan di penampungan sementara di Jl Raya Pisangan Timur. Namun keberadaan pedagang yang berjualan di sisi kanan dan kiri jalan tersebut sering mengakibatkan kemacetan yang parah.
Hingga saat ini keberpihakan pemerintah terhadap pasar tradisional memang terus diuji. Pasar tradisional yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat menengah ke bawah perlahan-lahan tergusur perannya dan tergantikan oleh pusat perbelanjaan modern atau ritel yang dimiliki korporasi bermodal raksasa.
Toko atau warung eceran milik pribadi pun merana semakin jarang dikunjungi pembeli karena gempuran minimarket yang berdiri hanya 'sejengkal' dari lokasi mereka.
Menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag), saat ini jumlah pasar modern yang ada diseluruh Indonesia mencapai 23 ribu unit. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 14 persen dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) potensi bisnis toko modern atau minimarket semakin terlihat jelas ketika pangsa pasar modern meningkat dari 25 persen pada 2002 menjadi 64 persen pada 2016.
Pertumbuhan ritel modern terutama terjadi pada format
minimarket,
convenience store, dan
hypermarket di mana
share perdagangan minimarket mengalami kenaikan tertinggi.
Dilihat dari perkembangan jumlah gerai selama 10 tahun terakhir, format
minimarket tumbuh rata-rata 17,4 persen dan
hypermarket 17,9 persen.
Dampak negatif pertumbuhan ritel modern yang semakin kencang belakangan ini, mulai dirasakan pedagang tradisional. Uluran tangan negara untuk membina pasar tradisional agaknya tak kunjung datang.
Alih-alih mendapat uluran tangan, tak jarang aksi represif aparat penegak hukum juga kerap diterima para pedagang pasar.
Syafia Halima (36) punya kisah. Ia berjualan mainan di Pasar Gembrong, Cipinang Jakarta Timur sejak masih duduk di kelas I SMP. Lebih dari separuh masa remajanya ia habiskan untuk berjualan mainan anak-anak di lapak dagangan milik kedua orang tuanya.
Selama itu pula, terhitung sudah ratusan kali ia berusaha lari dari kejaran petugas Satpol PP yang ingin menertibkan para pedagang karena menyerobot trotoar sebagai tempat berjualan.
Sejujurnya, ia mengaku lelah berjualan di pinggir jalan tanpa ada kios permanen. Keinginannya untuk memiliki ruko permanen tak kunjung terwujud lantaran harga bangunan dan tanah yang semakin meroket.
Terlebih, kini harga tanah di sekitar Pasar Gembrong melonjak drastis sejak kehadiran mal Bassura City yang resmi beroperasi tahun lalu. Mal tersebut berdiri hanya satu kilometer dari titik pusat Pasar Gembrong.
Terdiri dari lima lantai, mal Bassura hadir sebagai pusat belanja yang menawarkan produk hiburan, kuliner, gaya hidup, kebutuhan sehari-hari, termasuk produk mainan anak-anak.
![[17] Ketika Pedagang Kecil Merasa Terjajah di Negeri Sendiri](https://images.detik.com/community/media/visual/2017/08/14/105af0ee-462f-4d7c-8ba4-9365ce2185ab_169.jpg?w=620) (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari) |
"Dua puluh tahun lebih saya dagang di sini, mau sewa kios enggak sanggup. Harganya dimahalin semua, modal juga enggak nutup. Paling cuma bisa buat makan," ujarnya.
Pasar Gembrong adalah pasar grosir mainan terbesar yang berada di Jakarta Timur, letak atau alamatnya ada di Jalan Jenderal Basuki Rahmat, Cipinang Besar, Jatinegara. Sebagian orang ada yang menyebut pasar ini dengan Pasar Prumpung.
Kehadiran mal Bassura yang hanya berjarak ratusan meter dari Pasar Gembrong menjadi potret jelas ketimpangan modern dan tradisional. Kondisi ini sempat menimbulkan konflik karena ekspansi tersebut dianggap berpotensi mematikan pasar-pasar tradisional yang berlokasi di dekatnya.
Pada tahun 2013 lalu, ratusan pedagang kaki lima Pasar Gembrong sempat melakukan aksi demonstrasi di Jalan Raya Basuki Rahmat yang menuntut agar pemerintah kota mengizinkan mereka untuk kembali berjualan di kawasan trotoar Jalan Basuki Rahmat sebagai kompensasi atas kehadiran mall yang berpotensi merebut pelanggan pasar.
"Bukan takut saingan dengan mal. Kami percaya saja, rezeki ada yang mengatur," ujar Nasrullah (42) pedagang boneka yang sudah berjualan sejak tahun 1997. Direktur Utama PD Pasar Jaya Arief Nasrudin menjelaskan bahwa kawasan Pasar Gembrong bisa disulap menjadi pasar tematik sebagai pusat perdagangan mainan anak-anak terbesar di Indonesia dan berskala internasional.
Menurutnya, meski di kawasan ini banyak pedagang mainan anak-anak, masih perlu pembenahan dan penataan lagi ke depan.
Di daerah Jakarta, menurut Arief, PD Pasar Jaya juga akan menggandeng pedagang kaki lima untuk bersama-sama mengembangkan pasar agar menjadi lebih modern tanpa harus mengeliminasi para pedagang kecil.
Menurutnya, pedagang harus mengubah citra pasar tradisional yang identik dengan bau dan kumuh.
Arief mengatakan PD Pasar Jaya sudah melakukan perbaikan bangunan pasar-pasar di Jakarta. Dengan perbaikan itu, Arief berharap warga Jakarta bisa berbelanja dengan lebih nyaman tanpa menghilangkan ciri khas berbelanja di pasar yaitu budaya tawar-menawar dan harga yang terjangkau.
Arief ingin minat masyarakat berbelanja di pasar tradisional bisa sama dengan di pasar modern lainnya.
"Kita harus duduk bareng, jangan bermusuhan. Satu-satunya jalan adalah merangkul mereka untuk pedagang yang tidak bisa bergerak banyak," katanya.