Jakarta, CNN Indonesia -- Daya tarik pasar modal nampaknya tengah luntur di mata investor asing. Dalam satu hingga dua bulan terakhir, mereka terus menarik dananya dengan melakukan aksi jual saham.
Alhasil, jumlah dana asing yang keluar sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu, Jumat (8/9), telah mencapai Rp6,02 triliun. Sementara, dalam hari itu saja jumlah dana asing yang keluar sebesar Rp2,73 triliun.
Padahal, investor asing sejak awal tahun 2016 hingga bulan Agustus tahun lalu masih tercatat beli bersih (
net buy) sebesar Rp37,74 triliun. Khusus bulan Agustus tahun 2016, dana asing yang masuk ke pasar modal sebesar Rp12,86 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menariknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bertahan di level 5.700-5.800 ditengah maraknya aksi jual saham investor asing saat ini. Meski tidak selalu menguat, tetapi indeks terpantau tidak sampai anjlok.
Pergerakan IHSG pun terlihat positif sejak awal tahun sampai 8 September kemarin. Bila dihitung, IHSG telah menguat sebesar 11 persen sejak awal tahun (
year to date/ytd). Pada awal tahun, IHSG masih berada di level 5.275, sedangkan akhir pekan lalu ditutup di level 5.857.
"Ini tren baru, biasanya dulu kalau asing jualan IHSG pasti turun paling tidak 100 poin sampai 200 poin," ujar Teguh Hidayat, pengamat pasar modal kepada
CNNIndonesia.com, Sabtu (9/9).
Ia menilai, penguatan harga saham bekapitalisasi besar (
big capitalization) menjadi katalis utama bagi IHSG. Seperti diketahui, indeks akan bergantung pada pergerakan saham berkapitalisasi besar.
"Jadi saham-saham berkapitalisasi besar tidak kena imbas. Jadinya, IHSG bisa tetap stabil," papar Teguh.
 (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
Buktinya, IHSG kembali mencapai rekor tertingginya pada bulan lalu. Tepatnya, pada 25 Agustus 2017 IHSG tembus ke level 5.915. Bahkan, pada perdagangan sebelumnya, 23 Agustus 2017 indeks juga telah mencapai 5.914.
Kondisi ini kemungkinan besar disebabkan banyaknya investor domestik baru. Umumnya, investor baru tidak akan memiliki saham lapis kedua atau ketiga. Mereka akan lebih memilih nama saham yang sudah terkenal dan biasanya memiliki nilai kapitalisasi besar.
Masuknya investor baru ini kemungkinan besar tidak lepas dari program BEI bertajuk "Yuk Nabung Saham" yang terus digaungkan sejak beberapa tahun terakhir. Maka, jangan heran jika banyak mahasiswa yang juga menyandang status investor pasar modal saat ini.
"Nah mereka itu kan istilahnya pemula, belum mengerti apa-apa jadi beli sahamnya yang mereka tahu. Mereka tidak mungkin mau ambil risiko," jelas Teguh.
Memang, beberapa saham berkapitalisasi besar mencatatkan kinerja yang cemerlang bila dilihat secara
ytd hingga 8 September lalu.
PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) misalnya, kenaikannya melonjak hingga 30,84 persen dari Rp38.825 per saham pada awal tahun menjadi Rp50.800 per saham.
Kemudian, harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) pada akhir pekan lalu tembus ke level Rp15 ribu per saham, atau naik 26,05 persen sejak awal tahun dari Rp11.900 per saham.
Selanjutnya, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) atau Telkom dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sama-sama naik pesat 19,49 persen menjadi Rp4.720 per saham dan Rp18.850 per saham.
Di sisi lain, analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengatakan, selain saham berkapitalisasi besar, sebagian besar investor domestik juga terlihat menyasar saham lapis kedua yang memiliki sentimen pemberitaan positif.
Ia menilai, pergerakan harga saham lapis kedua lebih berfluktuasi, sehingga investor berpotensi mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan saham berkapitalisasi besar yang pergerakannya lebih terbatas.
"Berita saham berkapitalisasi kecil (small capitalization) lebih banyak, beritanya tidak biasa, jadi kalau positif naiknya bisa kencang sekali," tutur Reza.
Bila dicontohkan, harga saham PT Rimau Multi Putra Pratama Tbk (CMPP) yang langsung menukik tajam setelah pemberitaan rencana
backdoor listing PT Indonesia Airasia mencuat di media massa.
Sepanjang pekan lalu saja, harga saham perusahaan pengangkutan batu bara dan pelayaran ini lompat 140,5 persen menjadi Rp1.140 per saham. Sementara, harga sahamnya pada 4 September 2017 masih berada di level Rp474 per saham.
"Padahal, sebelumnya banyak juga yang mungkin tidak tahu perusahaan Rimau Multi Putra Pratama. Tapi nanti setelah pemberitaan mereda, pergerakannya berubah lagi," terang Reza.
 (CNN Indonesia/Fajrian) |
Reza memang tidak menampik jika masih banyak investor yang menempatkan dananya di saham berkapitalisasi besar, hanya saja nilai transaksi di saham lapis kedua bisa mengimbangi jumlah transaksi di saham lapis pertama (
first liner) yang terbatas.
Melihat kondisi yang terjadi, investor domestik memiliki peran yang cukup penting di pasar modal Indonesia. Pasalnya, IHSG tak lagi bergantung pada aksi jual dan beli investor asing seperti tahun-tahun sebelumnya.
"Jumlah investor saat ini mayoritas lokal, investor ritel di Indonesia kan banyak sekali," ucap Direktur Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Syafruddin.
Artinya, secara persentase jumlah investor domestik pasar modal keseluruhan sudah tembus 50 persen dibandingkan dengan investor asing.
Merujuk data KSEI, jumlah investor domestik ritel saham dan obligasi meningkat dari tahun 2012 hingga 31 Juli 2017. Sepanjang tujuh bulan pertama tahun ini, jumlah investor domestik ritel sebanyak 568.923. Sementara, pada akhir tahun 2012 baru berjumlah 267.995. Teguh berpendapat, perkumpulan massa yang akhir-akhir ini sering terjadi di dalam negeri membuat investor asing khawatir. Mereka resah dengan tingkat keamanan di Indonesia.
"Misalnya yang terakhir terjadi perkumpulan massa di Candi Borobudur terkait konflik kelompok Rohingya di Myanmar," kata Teguh.
Sebelumnya, beberapa perkumpulan massa juga terjadi terkait kelompok yang mendukung penuntutan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan kelompok yang berada di sisi Ahok.
"Kalau dulu kan terjadi konsentrasi massa hanya pada hari-hari besar, misalnya hari buruh. Kalau sekarang terlihat pemerintah sibuk berurusan dengan organisasi kemasyarakatan (ormas)," ujar Teguh.
Selain itu, kondisi geopolitik Korea Utara juga mempengaruhi investor asing keluar dari pasar modal. Namun, Teguh meyakini mereka hanya keluar sementara hingga konflik geopolitik mereda.
"Tapi sebenarnya mereka tidak hanya dari Indonesia saja, tapi juga keluar dari kawasan Asia," ungkap Teguh.
Senada, Reza menerangkan, investor asing terlihat sudah tidak nyaman dengan kondisi dalam negeri karena beberapa hal, seperti data pertumbuhan ekonomi pada kuartal II yang stagnan di level 5,01 persen.
Hal ini diperkuat dengan maraknya pemberitaan terkait pelemahan daya beli masyarakat sepanjang semester I tahun ini. Kemudian, nilai tukar rupiah yang rentan terdepresiasi dengan sentimen global.
"Selain tidak nyaman, keluarnya asing juga mungkin mereka melakukan
rebalancing asset. Jadi untuk mencapai targetnya mereka sekarang keluar dulu," jelas Reza.
Jika dilihat dalam 11 tahun terakhir perdagangan saham di Indonesia, maka terjadi dua kali
net sell dengan nilai fantastis. Hal ini terjadi pada tahun 2013 dengan jumlah Rp20,64 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp22,58 triliun.
Sejumlah analis sepakat, alasan asing keluar pada tahun 2013 disebabkan kondisi ekonomi dalam negeri yang tidak kondusif dan berbagai target pemerintah yang tak tercapai.
Pada tahun 2014 asing kembali kompak masuk dikarenakan ada "Jokowi Effect". Pada tahun itu, pesta demokrasi berupa Pemilihan Presiden (Pilpres) diselenggarakan dan Joko Widodo ditetapkan menjadi Presiden Republik Indonesia (RI).
Namun, asing kembali keluar dari pasar modal pada tahun 2015 dengan jumlah yang tak kalah besar dari tahun 2013, yakni Rp22,58 triliun.