Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat suara mengenai gurita bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia mengaku, gerah melihat anak hingga cucu usaha BUMN melebarkan sayap dengan bidang bisnis berbeda dari sang induk usaha.
Jokowi bahkan meminta BUMN melego atau menggabungkan (merger) anak dan cucu perusahaan dengan badan usaha lain. “Saya sudah perintahkan kemarin (untuk menjual atau merger cucu BUMN). Ngapain (anak usaha) BUMN mengurusi katering dan mencuci baju?,” tegas mantan Gubernur DKI Jakarta itu, kemarin.
Menurut dia, perintah ini sudah diutarakannya dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu. Hal ini ditujukan agar perusahaan swasta juga mendapatkan kesempatan yang sama dalam melakukan aktivitas ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebetulnya, bukan kali ini saja Jokowi menaruh perhatian pada BUMN. Dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu, delegasi Bank Dunia yang dipimpin Jim Yong Kim juga memberitahu pemerintah perlu memperhatikan keseimbangan peran BUMN dan non-BUMN.
Pasalnya, saat ini, kompetisi persaingan usaha antara BUMN dan swasta dinilai kurang sehat. Bila pemerintah bisa menyeimbangkan peran BUMN dan swasta, maka seharusnya pendanaan, terutama bagi proyek infrastruktur, bisa jauh lebih efisien.
Merespons laporan tersebut, Jokowi lantas memanggil tiga menterinya untuk rapat ke Kompleks Istana Kepresidenan tanggal 27 Juli silam. “(Rapatnya) mengenai kritik Bank Dunia,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono selepas pertemuan itu.
Instruksi Jokowi jelas, jangan sampai dominasi BUMN menghambat persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti anggapan itu juga sepenuhnya benar.
Menurut pengamat BUMN Said Didu, dari beberapa sektor usaha yang digeluti perusahaan pelat merah, hanya ada dua sektor yang memegang kontribusi produksi lebih dari 50 persen. Yakni, pupuk dan gula.
Menurut catatannya, pupuk yang diproduksi BUMN mencapai 16 juta ton pada 2015 lalu atau 94,12 persen dari total produksi Indonesia sebesar 17 juta ton.
Sementara itu, rata-rata produksi gula BUMN dalam tiga tahun terakhir hanya ada di angka 1,5 juta ton atau 60 persen dari rata-rata produksi nasional 2,5 juta ton.
Di sisi lain, terdapat pula kondisi bahwa BUMN tidak begitu mendominasi kegiatan sektoral. Produksi minyak kelapa sawit, misalnya, hanya menyumbang 5,8 persen dari produksi nasional.
Selain itu, produksi batu bara BUMN juga hanya tercatat 5,95 persen dari total produksi nasional.
Melihat angka-angka tersebut, Said menyangkal tuduhan bahwa BUMN menguasai segala sektor perekonomian di Indonesia. “
Toh, berdasarkan data, tidak benar BUMN mendominasi ekonomi,” kata Said.
Setali tiga uang, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf juga belum melihat indikasi monopoli dari aktivitas BUMN. Bahkan, Syarkawi menilai, peran BUMN belum disebut kronis dalam membahayakan persaingan usaha.
Namun, selain memantau potensi dominasi sektoral, KPPU juga mencermati sinergi antar BUMN. Sebab, selain menghalangi penetrasi swasta, sinergi antar perusahaan pelat merah ini kadang menimbulkan inefisiensi yang kerap tidak disadari.
Ambil contoh, sebuah proyek yang dikerjakan BUMN A biasanya akan memilih BUMN B sebagai kontraktor pengerjaannya atas alasan sinergi.
Padahal, bisa jadi pengerjaan kontrak bisa lebih efisien jika BUMN A membuka lelang dan menunjuk pihak swasta, yang kemungkinan menawarkan nilai pengerjaan yang lebih murah dibanding BUMN B.
“Yang kami perhatikan dalam beberapa waktu adalah sinergi antar BUMN. Kami setuju bahwa sinergi ini dilakukan atas dasar efisiensi. Tapi, kalau tidak efisien, kenapa tidak kerja sama saja dengan swasta,” terang Syarkawi.
Alih-alih memperkuat jalinan antar BUMN, Syarkawi menilai bahwa sudah saatnya perusahaan pelat merah menjalin mitra dengan usaha skala kecil. Pasalnya, kemitraan dengan BUMN bisa menjadi jalan bagi usaha golongan tersebut agar bisa naik kelas.
Ia menyebut, langkah Jokowi dalam menahan ekspansi BUMN agar 'tidak keluar jalur' merupakan tindakan yang tepat. “BUMN ini harus menjadi prime mover untuk melahirkan pelaku usaha baru. Sehingga, nanti struktur ekonomi bisa berimbang,” paparnya.
Secara kasat mata, mengurangi peran serta BUMN dianggap seperti langkah yang negatif. Tapi, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menilai, hal tersebut menimbulkan dampak positif.
Pertama, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bisa bertahan hidup. Sebab, jika ekspansi BUMN menyimpang dari inti bisnisnya, maka akan mengurangi kesempatan UMKM untuk berperan lebih besar dalam perekonomian.
“Anak cicit BUMN ini mengambil banyak porsi swasta dan UMKM. Contohnya, ada kegiatan katering untuk internal BUMN yang dibikin oleh cicit mereka. Kami ingin, BUMN ini kembali ke
core (inti) bisnisnya,” tutur Rosan.
Kedua, BUMN pun bisa fokus dalam membelanjakan modalnya, asalkan aset yang dimilikinya dilepas untuk dikelola pihak swasta. Ia berharap, BUMN ikhlas menjual beberapa pengelolaan aset ke pihak swasta, sehingga hasilnya bisa digunakan untuk membiayai proyek lainnya.
Ia mencontohkan, aset BUMN yang sangat menarik dikelola oleh swasta adalah jalan tol milik PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Menurutnya, swasta pasti akan tertarik karena bisnis jalan tol punya arus kas yang sudah terukur.
“Untuk apa Jasa Marga masih pegang jalan tol? Yang beli kan bisa dengan pengusaha nasional.
Cash flow (arus kas) jelas, sudah keukur. Pengusaha nasional ini bisa kok (mengelolanya), tidak perlu pengusaha asing,” imbuhnya.
Semua pihak boleh berpendapat mengenai kehadiran BUMN. Tetapi, bisa disimpulkan bahwa peran BUMN dianggap belum membahayakan persaingan usaha, meski bukan berarti tidak ada potensi itu di kemudian hari.
Menyadari hal itu, beberapa instansi sudah menerapkan aturan untuk memperbesar peluang swasta dalam melaksanakan proyek pemerintah.
 Presiden Joko Widodo menginstruksikan, jangan sampai dominasi BUMN menghambat persaingan usaha yang sehat di Indonesia. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A). |
Kementerian PUPR, misalnya, berencana untuk menyusun beleid di mana BUMN hanya boleh melaksanakan kontrak-kontrak infrastruktur di bawah Rp100 miliar.
Tidak hanya itu, pemerintah juga tidak memperbolehkan BUMN bermitra kembali dengan BUMN, namun harus melibatkan swasta dengan skema Kerja Sama Operasi (KSO).
Selain itu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono bilang, ia pun tak ingin agar pengadaan barang dan jasa untuk proyek yang dikerjakan BUMN juga disediakan oleh BUMN.
Toh, terkadang perusahaan swasta tak bisa menyalurkan beton pracetak (precast) gara-gara BUMN kontraktor sudah memiliki lini produksi pracetak sendiri.
“Makanya, saya ingin atur itu. Pasti (perusahaan swasta) tak bisa melawan karena tendernya jadi tidak imbang,” pungkasnya.