ANALISIS

Mengejar Rp500 Triliun tanpa Amnesti Pajak di Akhir Tahun

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Kamis, 12 Okt 2017 12:25 WIB
Hingga September, penerimaan pajak baru mencapai Rp770 triliun dari target Rp1.283,6 triliun tahun ini. Sisa akhir tahun ini pun tak ada lagi amnesti pajak.
Hingga September, penerimaan pajak baru mencapai Rp770 triliun dari target Rp1.283,6 triliun tahun ini. Sisa akhir tahun ini pun tak ada lagi amnesti pajak. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penerimaan pajak hampir setiap tahunnya mengalami kekurangan (shortfall). Tahun ini pun shortfall diperkirakan akan kembali terjadi, melihat realisasi penerimaan pajak hingga September yang baru mencapai 60 persen.

Per akhir September 2017, realisasi penerimaan pajak tercatat baru mencapai Rp770,7 triliun. Secara nominal, capaian itu turun 2,79 persen. Padahal, hingga akhir tahun, penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.283,6 triliun dan akan membiayai 60 persen anggaran belanja negara Rp2.133,2 triliun.

Artinya, dalam tempo tiga bulan, DJP harus banting tulang mengejar penerimaan pajak hingga Rp500 triliun. Jumlah yang cukup besar untuk dapat dikejar. Data historis pun menunjukan, target penerimaan pajak hampir setiap tahunnya tidak tercapai.
Realisasi penerimaan pajakRealisasi penerimaan pajak. (CNN Indonesia/Timothy Loen)

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menaksir penerimaan pajak tahun ini hanya akan terealisasi 89 hingga 92 persen dari target atau shortfall berkisar Rp102 triliun hingga Rp144 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Proyeksi ini sedikit membaik dari perkiraan Yustinus sebelumnya di mana shortfall pajak diramal bisa mencapai Rp113,74 triliun hingga Rp188,72 triliun. Proyeksi ini melihat capaian pertumbuhan ekonomi semester I yang hanya sebesar 5,01 persen dan realisasi pajak Juli yang baru mencapai 46,8 persen dari target.

"Saya kira pencapaian September cukup memberi gambaran tren (penerimaan pajak) tiga bulan ke depan. Polanya mirip dengan (penerimaan pajak) tahun 2015, tanpa tax amnesty. Semoga dengan pengawasan yang lebih baik cukup efektif mendongkrak penerimaan," ujar Yustinus kepada cnnindonesia.com, Selasa (10/10) lalu.

Menurut Yustinus, program amnesti pajak yang berakhir pada 31 Maret lalu mampu meningkatkan kepatuhan, terutama untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Per akhir September, penerimaan PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) tercatat positif yaitu mencapai Rp 307,3 triliun atau mekar 13,7 persen secara tahunan. Capaian tersebut setara dengan 64,6 persen dari target APBN-P 2017.

"PPN terpengaruh karena laporan menjadi apa adanya, tidak manipulasi faktur lagi," ujarnya.

Meskipun demikian, Yustinus mengakui pemanfaatan data amnesti pajak belum cukup optimal dilakukan oleh petugas pajak. Sebagai pengingat, melalui program amnesti pajak, DJP menerima laporan harta tambahan yang selama ini disembunyikan Rp4.884,25 triliun dari 973.426 wajib pajak.

Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai tindak lanjut program amnesti pajak tidak akan cukup untuk mendongkrak penerimaan pajak tahun ini. Pasalnya, waktu yang tersisa hanya tinggal tiga bulan.

Melihat situasi ekonomi yang masih belum pulih, Darussalam memperkirakan shorfall pajak tahun ini setidaknya mencapai Rp147 triliun. Dengan kata lain, penerimaan pajak maksimal hanya akan tercapai Rp1.135 triliun atau 88,2 persen dari target.

"Pada awalnya, memang ada optimisme bahwa realisasi pajak di tahun ini paling tidak bisa mencapai Rp1.220 triliun atau sekitar 93 persen dari target APBN 2017 sebesar Rp1.307 triliun," ujarnya.

Meskipun tidak mencapai target, jumlah shortfall tahun ini bakal lebih sedikit dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai sekitar Rp250 triliun mengingat realisasi pajak hanya berkisar Rp1.105 triliun dari target Rp1.355,2 triliun.

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi meyakinkan bahwa pihaknya masih optimistis bisa mencapai target penerimaan pajak tahun ini. Sisa tiga bulan, menurutnya cukup melakukan berbagai upaya untuk mendongkrak penerimaan pajak.

"Kalau saya optimis (bisa mencapai target). Makanya saya minta kerja sampai jam 10 malam. Itu untuk eselon II ya," ujar Ken dalam konferensi pers di kantornya, Senin (9/10) malam.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal menambahkan, penerimaan pajak tahun ini sebenarnya telah membaik dibandingkan tahun lalu. Turunnya penerimaan pajak lebih disebabkan oleh adanya penerima yang tidak berulang seperti penerimaan dari uang tebusan program amnesti pajak dan Pajak Penghasilan Final Revaluasi yang dialami tahun lalu. Sebagai pengingat, penerimaan uang tebusan amnesti pajak berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) per 30 September mencapai Rp97,2 triliun.

Ke depan, DJP akan mengambil beberapa langkah untuk mengamankan penerimaan pajak tahun ini. Pertama, upaya penggalian pajak dari wajib pajak dan obyek pajak yang sudah ada atau intensifikasi sepanjang DJP memiliki data pendukung dan teruji kebenarannya.

"Termasuk di dalamnya tindak lanjut pasca tax amnesty. Itu saja yang kami optimalkan," ujar Yon.

Dalam hal ini, peserta amnesti pajak yang tidak melaporkan seluruh hartanya dalam Surat Pernyataan Harta maupun wajib pajak yang ketahuan masih menyembunyikan sejumlah hartanya dan tidak mengikuti amnesti pajak akan menerima sanksi yang diatur dalam Undang-undang Pengampunan Pajak dan turunannya. Salah satu sanksinya berupa pembayaran denda hingga 200 persen dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayarkan.

Selain itu, DJP juga akan tetap melakukan upaya untuk memperluas subyek pajak dengan cara menambah jumlah wajib pajak yang terdaftar atau ekstensifikasi.

Jika penerimaan pajak tahun ini tidak tercapai, berdasarkan postur anggaran negara, Pemerintah setidaknya bisa mengambil tiga opsi. Pertama, menambah utang untuk menutup defisit anggaran tanpa mengurangi belanja. Konsekuensinya, defisit anggaran bakal melebar dan utang negara bisa membengkak.

Kedua, melakukan penghematan belanja di pos-pos belanja yang memungkinkan. Risikonya, pertumbuhan ekonomi bisa terseret ke bawah. Hal itu tercermin pada kuartal II lalu waktu konsumsi pemerintah tumbuh minus 1,98 persen, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 5,01 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, 5,18 persen.

Ketiga, melakukan kombinasi keduanya. Apapun opsi yang diambil tetap mengacu pada ketentuan defisit anggaran negara tak boleh melampaui tiga persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sesuai amanat Undang-undang Keuangan Negara. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER