Jakarta, CNN Indonesia -- Peluang kenaikan bagi saham emiten berbasis konstruksi diramalkan terbuka pekan ini. Piutang pengguna jasa konstruksi yang biasanya mulai dibayarkan pada kuartal III, bakal membius pelaku pasar untuk melakukan aksi beli.
Selama ini, emiten konstruksi terus-menerus dihantam sentimen negatif karena arus kas (cash flow) yang dinilai tidak lancar. Masalahnya, banyak pelaku pasar khawatir piutang perusahaan menumpuk di tengah moncernya proyek infrastruktur saat ini.
"Nah, berbagai investasi proyek infrastruktur mulai dibayarkan pada kuartal III dan IV ini, jadi cash flow semakin bagus," ujar analis Royal Investium Sekuritas, Wijen Ponthus kepada
CNNIndonesia.com, dikutip Senin (16/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Wijen, potensi penguatan ini akan terjadi pada empat emiten konstruksi pelat merah, diantaranya PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI).
"Apalagi sektor konstruksi juga menguat hari ini (Jumat 13 Oktober 2017). Jadi ke depan akan melanjutkan penguatannya," papar Wijen.
Harga saham emiten konstruksi memang melambung pada akhir pekan lalu. Tak tanggung-tanggung, harga saham Pembangunan Perumahan naik hingga 6,25 persen ke level Rp2.720 per saham, Waskita Karya tumbuh 1,91 persen, Wijaya Karya dan Adhi Karya masing-masing meningkat 1,44 persen dan 1,97 persen.
"Lalu Waskita Karya juga mendapatkan dana segar lagi, mengambil utang untuk perbaiki cash flow," sambung Wijen.
Pada Senin 9 Oktober 2017 pekan lalu, perusahaan mencatatkan penerbitan surat utang (obligasi) dengan nilai Rp3 triliun. Penerbitan ini bertajuk Obligasi Berkelanjutan III Waskita Karya Tahap I Tahun 2017.
 Pembangunan LRT. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sepakat dengan Wijen, Kepala Riset Reliance Sekuritas Robertus Yanuar Hardy juga menyarankan agar pelaku pasar mencermati sama Pembangunan Perumahan dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR).
"Untuk Pembangunan Perumahan, kenaikan nilai kontrak diyakini akan berimbas positif terhadap laporan keuangan perusahaan," papar Robertus.
Direktur Utama Pembangunan Perumahan Tumiyana memaparkan, pihaknya membukukan kontrak baru sebesar Rp31,9 triliun per akhir September 2017. Angka itu naik 40,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016 sebesar Rp22,7 triliun.
"Pencapaian kontrak baru sebesar 78,6 persen dari total target perusahaan selama 2017 menunjukan perusahaan tetap
on the right track," ucap Tumiyana.
Tumiyana merinci, beberapa kontrak baru yang diraih perusahaan pada September 2017, antara lain Bandar Udara Kulonprogo Yogyakarta senilai Rp6,5 triliun, Jalan Tol Gempol-Pasauruan Rp423,5 miliar, dan Transmart Bali sebesar Rp497 miliar.
Sementara itu, sentimen positif bagi Jasa Marga sendiri berasal dari aksi korporasi yang bertujuan menghimpun dana segar dan peresmian ruas tol baru.
"Peresmian beberapa ruas tol baru diyakini dapat meningkatkan kinerja perusahaan," jelas Robertus.
Seperti diketahui, Jasa Marga menjadi salah satu emiten yang sudah menyatakan kesiapannya untuk menerbitkan komodo bond atau obligasi global berdenominasi rupiah pada bulan depan atau November 2017.
Bila sesuai dengan rencana, Jasa Marga akan menerbitkan komodo bond dengan nilai US$200 juta atau sekitar Rp2 triliun.
Selain itu, juga ada Wijaya Karya yang bakal menerbitkan komodo bond pada November mendatang dengan nilai US$400 juta atau sekitar Rp5 triliun. Obligasi global yang diterbitkan keduanya akan dicatatkan di London Stock Exchange.
Bila saham konstruksi direkomendasikan beli (buy), maka tidak dengan saham berkapitalisasi besar (blue chip). Pasalnya, rata-rata harga saham blue chip sudah terlalu mahal bagi pelaku pasar.
Sejumlah analis pun kompak menyarankan agar saham blue chip dijual (sell) atau dihindari, khususnya PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) atau Telkom dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM).
Pada perdagangan Jumat 13 Oktober 2017 kemarin, harga saham Telkom berakhir di level Rp4.430 per saham atau terkoreksi tipis 0,23 persen, sedangkan Gudang Garam melemah signifikan 2,13 persen ke level Rp64.200 per saham.
Sementara itu, price to earning ratio (PER) untuk Telkom berada di posisi 18,46 kali dan Gudang Garam di level 19,77 kali. PER biasanya digunakan sebagai salah satu indikator pelaku pasar dalam menimbang kewajaran dari harga saham.
"Telkom juga berpotensi tidak dapat mempertahankan posisinya dalam lelang spektrum," ungkap Robertus.
Kemudian, saham Gudang Garam juga terkena sentimen negatif karena curah hujan yang sedang tinggi. Kondisi tersebut diprediksi dapat menurunkan mutu dari tembakau dan cengkeh itu sendiri.
Disamping itu, Wijen menambah daftar saham Blue Chip yang patut dijual oleh pelaku pasar, misalnya saja PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Astra International Tbk (ASII), PT United Tractors Tbk (UNTR), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
"Secara teknikal sudah mahal semua, jadi sudah seharusnya turun," terang Wijen.