Jakarta, CNN Indonesia -- September lalu, neraca perdagangan Indonesia berhasil mencatatkan rekor surplus dengan nilai mencapai US$1,76 miliar. Bahkan, nilainya menggeser posisi surplus Agustus sebesar US$1,72 miliar, yang sebelumnya digadang sebagai capaian tertinggi sejak 2012 silam.
Selain soal rekor, bila surplus Januari-September tahun ini dijumlahkan, angkanya tembus US$10,87 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, surplus hanya sekitar US$6,41 miliar. Artinya, total surplus tahun ini telah melonjak 69,5 persen.
Sayang, bila ditelaah, peningkatan surplus tersebut tak semata-mata karena gairah ekspor melonjak. Justru, ekspor tengah turun. Namun, surplus masih terjaga lantaran nilai impor kompak turun juga, sehingga memberi kompensasi meningkatnya surplus dari pos perdagangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor turun 4,51 persen menjadi US$14,54 miliar dari US$15,21 miliar pada Agustus lalu. Penyebabnya, ekspor non migas yang berkontribusi 90,7 persen pada total ekspor, melorot 6,09 persen.
Padahal, harga komoditas migas, seperti batubara tengah meningkat. Bahkan, sukses mengerek nilai ekspor hingga 12,71 persen menjadi US$1,44 miliar. Sayang, lagi-lagi kompensasinya belum bisa menutup bocornya potensi ekspor dari non migas.
Di sisi lain, Kepala BPS Suhriyanto bilang, ada pengaruh menurunnya ekspor karena faktor musiman (seasonal) beberapa negara tradisional, yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia.
“
Seasonal bisa dipengaruhi oleh hari-hari besar atau musim, misal saat ini lebih sedikit permintaan impor dari negara tertentu tapi mungkin nanti mendekati Natal, 25 Desember, lebih tinggi,” ucap Ketjuk sapaan akrabnya, Senin (16/10).
Namun, Ketjuk menyatakan, sayang rasanya bila nilai ekspor Indonesia terjegal faktor musiman hingga bergantung pada harga komoditas. Sebab, potensinya masih sangat besar, baik dari sisi produksi hingga pasar.
Dari produksi, kapasitas industri dalam negeri sejatinya masih bisa ditingkatkan, namun mutlak ditunjang dengan peningkatan daya saing. Caranya, bisa melalui kebijakan untuk mendapatkan harga bahan baku yang lebih rendah, sehingga harga jual produk juga lebih kompetitif dibandingkan pesaing, misalnya Vietnam.
Dari sisi pasar, pemerintah perlu memperkuat penetrasi ekspor ke negara-negara nontradisional. Caranya, dengan menambah jenis komoditas ekspor yang sesuai kebutuhan masyarakat negara setempat.
Misalnya, saat ini sudah ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) ke Iran, maka bisa ditambah dengan ekspor makanan dan minuman, tekstil, dan lainnya.
Wakil Ketua Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Benny Soetrisno mengatakan, memang sebenarnya para pengusaha ingin sekali memperluas jangkauan pasar ke negara-negara nontradisional.
Hanya saja, ibarat masa 'pedekate' dalam sebuah hubungan, pengusaha butuh pemerintah sebagai ‘mak comblang’ agar hubungan perdagangan lebih kuat, baik dari sisi pemerintah ke pemerintah hingga bisnis ke bisnis.
Sebab, di satu sisi, tentu tak mudah pula bagi pengusaha untuk menembus negara baru yang sebelumnya tak mengenal produk dari Indonesia hingga akhirnya tertarik menggunakannya.
“Yang pasti hubungan perdagangan dari pemerintah ke suatu negara itu penting, bisa secara bilateral, regional, hingga multilateral,” ucap Benny.
Di sisi lain, ia minta agar implementasi kebijakan pemerintah khususnya untuk kalangan pengusaha kian dipertajam. Misalnya, dari sisi 15 paket kebijakan ekonomi yang dirilis dalam dua tahun terakhir, hingga yang teranyar, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 Tahun 2017 tentang Kemudahan Berusaha.
“Mungkin kalau kemarin sudah dipermudah perizinannya, sekarang bisa tarif bea masuk impor bahan baku itu diturunkan, agar harga produksi lebih kompetitif,” katanya.
Insentif lain, misalnya segera merealisasikan penurunan harga gas untuk industri, seperti yang sudah diberlakukan pemerintah untuk tiga industri, petrokimia, pupuk, dan baja di bawah US$6 per MMBTU atau maksimal US$6 per MMBTU.
"Kalau diberikan ke industri kaca, ekspornya pasti bisa lebih baik," imbuhnya.
Ia menyatakan, insentif-insentif seperti itu sangat penting agar daya saing bisa meningkat dan tak kalah dari negara-negara tetangga yang sebenarnya juga sudah lebih dulu melakukan perluasan ekspor ke negara nontradisional. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, sektor komoditas yang terbilang jitu untuk menyasar negara-negara tradisional saat ini memang masih berorientasi komoditas migas.
"Tapi sebenarnya makanan dan minuman, hasil manufaktur, dari tekstil, itu semua bisa mulai 'dijual' pemerintah ke negara non tradisional," kata Heri.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, memang konsep membuka pasar baru telah dipetakan pemerintah. Bahkan, mendapat instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Adapun hal itu dilakukan lantaran pemerintah ingin mengulang prestasi di masa lalu, misalnya saat berhasil melakukan penetrasi ekspor ke India. Hasilnya, saat ini India menjadi salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia, bahkan penyumbang surplus terbesar pula.
“Misalnya kami mencoba perhatian untuk membuka jalan ke Iran, Nigeria, Afrika Selatan, itu negara-negara yang penduduknya besar dan ekonomi juga besar,” kata Darmin.
Hanya saja, memang membuka pasar dan melakukan penetrasi yang tinggi ke negara-negara non tradisional itu tak mudah dan butuh waktu. Pemerintah, sambung Darmin, masih perlu berbenah untuk meningkatkan kualitas industri dan membina hubungan perdagangan itu.