ANALISIS

Gesernya Pola Konsumsi dan 'Biang Keladi' Lesunya Ekonomi

Yuli Yanna Fauzie & Dinda Audriene Muthmainah | CNN Indonesia
Selasa, 07 Nov 2017 12:45 WIB
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal 3 tumbuh dibawah ekspektasi akibat lesunya konsumsi rumah tangga. Pergeseran pola konsumsi pun dituding sebagai 'biang keladi'.
Hampir semua kalangan masyarakat, dinilai saat ini, memiliki alokasi pengeluaran khusus untuk kedua hal itu, meski porsinya berbeda. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Ekonom Universitas Indonesia Ari Kuncoro menilai, memang hampir semua kalangan masyarakat memberikan alokasi pengeluaran khusus untuk kedua hal itu, meski porsinya berbeda.

"Untuk menengah atas dan generasi milenial, mereka tetap punya tuh jatah untuk 'nge-mall', untuk sekedar 'nongkrong' di restoran dan kedai kopi. Tapi mereka juga 'nabung' untuk liburan," ujar Ari.

Alhasil, menurut Ari, pengeluaran untuk membeli makanan dan minuman dalam jumlah besar mereka tahan, belanja untuk pakaian dan perlengakapan rumah tangga yang sekiranya bisa bertahan lama, akhirnya ditahan juga. Hal ini demi memiliki alokasi dana yang cukup untuk 'nongkrong' dan berlibur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau yang menengah ke bawah, mereka juga tetap alokasikan uang untuk 'nge-mall' tapi mungkin hanya sebulan sekali. Tapi karena itu bagian dari rekreasi mereka, tetap mereka sisihkan," katanya.

Lantas, apakah pergeseran pola konsumsi ke wisata ini bisa membuat kinerja konsumsi rumah tangga tetap baik, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi hingga tutup tahun?

Ari melihat, hal ini bisa. Sebab, menurutnya, wisata yang telah melekat jadi gaya hidup masyarakat masih akan berlangsung sampai beberapa tahun ke depan. Hal ini sejalan pula dengan semakin banyaknya titik-titik pariwisata baru yang membuat masyarakat penasaran dan ingin merasakan sendiri pengalaman itu.

Hanya saja, sumbangannya secara keseluruhan pada pertumbuhan ekonomi tidak sebaik bila masyarakat melakukan konsumsi ke barang berupa makanan dan pakaian, seperti yang dulu terjadi.

"Mungkin dampaknya belum sebesar itu (ke pertumbuhan ekonomi). Tapi setidaknya ada kontribusi dari pendapatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sektor pariwisata. Belum lagi, ini bisa meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar tempat wisata, mereka punya kesempatan untuk usaha," terangnya.

Sementara itu, Ekonom Samuel Aset Manajemen (SAM) Lana Soelistianingsih melihat, konsumsi wisata masyarakat belum bisa mengompensasi sumbangan konsumsi rumah tangga ke pertumbuhan ekonomi.

Alasannya, besarnya konsumsi wisata saat ini hanya berasal dari kelompok menengah ke atas. Sedangkan masyarakat menengah ke bawah masih tertekan dengan pendapatannya dan biaya hidup yang bertambah.

Hal ini membuat mereka tak bisa melakukan 'berfoya-foya' untuk berlibur dan tetap membatasi konsumsi yang lagi-lagi akan berdampak pada terkontraksinya indikator konsumsi rumah tangga.

"Jadi, rasanya pertumbuhan konsumsi rumah tangga sampai akhir tahun tetap di kisaran 4,9 persen, tapi rasanya paling tinggi hanya 4,95 persen, tidak lebih," kata Lana.

Bila penyumbang utama pertumbuhan tak bergairah, Lana memproyeksi, perekonomian Tanah Air hanya finis di angka 5,05 persen sampai 5,08 persen sampai tutup tahun. Artinya, masih jauh dari target pemerintah di angka 5,2 persen. (agi)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER