Jakarta, CNN Indonesia -- Nova (32) sedikitnya sekali dalam seminggu pergi ke gerai ritel Indomaret untuk berbelanja. Ia juga menyatakan dalam sebulan sekali mengkonsumsi mie instan Indomie dan sesekali membeli roti bermerek Sari Roti.
Namun, ia menyatakan tidak tahu bahwa perusahaan yang mengoperasikan Indomaret, serta memproduksi Indomie dan Sari Roti itu sempat bernaung di Grup Salim, dengan sang pemilik manfaat utamanya adalah Anthoni Salim.
"Wah, saya enggak tahu kalau dulu yang punya Indomaret, Indomie, dan Sari Roti itu orangnya sama. Mantap juga ya," katanya, Jumat (17/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masyarakat awam mungkin masih merasa asing dengan istilah pemilik manfaat atau
beneficial ownership serta siapa saja pengusaha yang kantong bisnisnya menggurita di beberapa perusahaan.
Sebut saja Grup Lippo dengan pemilik manfaatnya keluarga Riady yang mengoperasikan RS Siloam, Matahari Department Store, Hypermart, Lippo Karawaci, taman pemakaman San Diego Hills hingga megaproyek Meikarta.
Ada juga Grup Sinarmas yang pemilik manfaat utamanya adalah taipan Eka Tjipta Widjaya dengan bisnis mulai dari perumahan Bumi Serpong Damai, perusahaan kertas Asia Pulp and Paper, hingga PT Smart Tbk yang memproduksi minyak goreng Filma.
Terkait dengan hal tersebut, kini muncul fenomena menjamurnya perusahaan di Indonesia, yang juga diikuti perputaran uang yang semakin besar.
Belum lagi, dugaan pengemplangan dari pendirian perusahaan di negara surga pajak (
tax haven). Dugaan ini semakin kuat usai beredarnya mega skandal Panama Papers dan Paradise Papers yang turut menyeret sejumlah tokoh Indonesia.
Pemerintahan Joko Widodo pun mulai 'melotot' dalam melakukan pengawasan pemilik manfaat perusahaan untuk mencegah beberapa penyimpangan, mulai dari pencucian uang, hingga pendanaan terorisme.
CNNIndonesia.com memperoleh draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dan Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Dalam draf yang sedianya diteken oleh Jokowi itu, dijelaskan bahwa tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme dapat mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan.
"Korporasi dapat dijadikan sarana, baik langsung maupun tidak langsung, oleh pelaku tindak pidana yang merupakan penerima manfaat dari hasil tindak pidana untuk melakukan kegiatan pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga perlu mengatur penerapan prinsip mengenali penerima manfaat dari korporasi," demikian bunyi salah satu ayat pertimbangan Perpres itu.
 Infografis. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Definisi dan Data PemilikDalam draf Perpres itu, disebutkan bahwa pemilik manfaat adalah orang perseorangan, termasuk juga orang perseorangan dalam korporasi yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi atau pengurus pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini.
"Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum," tulis pasal 1 ayat 1 draf Perpres.
Dalam pasal 2 ayat 1 draf itu disebutkan, pengaturan dalam Perpres ini melingkupi penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi.
"Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi perseroan terbatas; yayasan; perkumpulan; koperasi; persekutuan komanditer; persekutuan firma; atau bentuk korporasi lainnya," demikian bunyi pasal 2 ayat 2 draf Perpres.
Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah mengatakan, setelah terdapat definisi pemilik manfaat, maka perlu terdapat kejelasan sistem registrasi data bagi korporasi.
"Nanti setelah pendefinisian itu, maka bisa masuk ke sistem registrasi, dan badan yang bertugas untuk mengumpulkan data pemilik manfaat itu. Kemudian setelah jelas model registrasinya, masuk ke cara untuk mengakses dan menggunakan data itu. Bisa lintas kementerian atau lembaga," katanya.
Sementara itu, informasi pemilik manfaat dari korporasi sebagaimana dimaksud paling sedikit mencakup, nama lengkap; nomor identitas kependudukan, surat izin mengemudi, atau paspor; tempat dan tanggal lahir; kewarganegaraan; alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas; alamat di negara asal dalam hal warga negara asing; Nomor Pokok Wajib Pajak; dan hubungan antara korporasi dengan pemilik manfaat.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan rencana penerbitan Perpres ini seakan menjadi langkah lebih lanjut pemerintah dalam memperjuangkan transparansi keuangan, sejak perjanjian keterbukaan data dalam lingkup internasional.
Ia menilai program Automatic Exchange of Information (AEoI) atau pertukaran data keuangan yang rencananya bakal diimplementasikan pada tahun depan, menjadi salah satu alasan dari penerbitan Perpres ini.
AEoI merupakan kesepakatan dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
"Negara
tax haven ikut AEoI, kemungkinan besar ingin menunjukkan kooperatif dengan implementasi global, tapi belum menjamin juga semuanya bakal membuka data," katanya.
Menariknya, industri dan asosiasi pengusaha yang terkait dengan draf Perpres ini mengaku tidak mengetahui dan mendapat sosialisasi. Padahal, aturan tersebut bakal berdampak besar bagi industri, apalagi terkait sistemnya.
Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI), Hamdi Hassyarbaini mengaku, belum mengetahui rencana penerbitan Perpres tersebut. Namun, ia mengaku jika yang diatur hanya perusahaan di Indonesia, seharusnya lebih gampang.
"Saya belum tahu dan belum mendapat info juga. Tapi kalau yang diatur di Indonesia harusnya lebih gampang. Setahu saya kalau perusahaan dalam negeri harusnya sudah ada data di Kemenkumham," ungkapnya.
Menurutnya, selama ini BEI sudah menerapkan pengawasan soal pemilik manfaat sejak lama, bahkan di tahap awal, yang dikenal dengan istilah Know Your Customer (KYC).
"Hal semacam itu sebenarnya sudah ada ya di BEI, bahkan dari mulai KYC. Di KYC kami malah kalau ada satu nasabah di luar negeri pakai
omnibus (akun gabungan), kami bisa minta juga
beneficial ownership-nya," katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Isakayoga juga mengaku belum mengetahui perihal rencana penerbitan Perpres itu. Ia mengaku, aturan serupa sebenarnya sudah ada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Saya belum tahu. Kalau di OJK sudah lama, kalau tidak salah kalau dari Bapepam sudah ada. Saya kira bagus bagus saja ya. Itu tidak menyimpang dari aturan PT (Perseroan Terbatas)," ujarnya.
Isakayoga menilai rencana penerbitan Perpres itu merupakan konsekuensi dari dimulainya keterbukaan informasi pada tahun depan. Ia berharap, pengawasannya bisa lebih dan dan jelas.
"Dana kemana saja bisa dilihat. Bisa untuk menahan yang bebas pajak. Yayasan juga harus melapor. Saat ini sistem pengawasannya harus lebih diperhatikan. Karena itu dalam peraturan juga harus ada kejelasannya," katanya.
Dalam draf Perpres, disebutkan korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai pemilik manfaat sebagaimana dimaksud, kepada otoritas berwenang.
Kemudian, penyampaian informasi sebagaimana dimaksud disertai dengan surat pernyataan dari korporasi mengenai kebenaran informasi yang disampaikan kepada otoritas berwenang.
Dalam hal diperlukan, otoritas berwenang dapat melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dengan meneliti kesesuaian antara informasi pemilik manfaat dengan dokumen pendukung.
"Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi pemilik manfaat secara berkala setiap satu tahun," seperti tertulis dalam pasal 10.
 (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Aturan Diharap MeluasRencana penerbitan Perpres ini membuat angin segar berhembus ke perbaikan sistem keuangan. Jika Perpres ini jadi diterbitkan, maka diharapkan bisa memberi penerangan ke wilayah orang tajir yang selama ini 'remang-remang'.
"Sebagai salah satu terobosan sih bagus, karena aturan kepemilikan manfaat ini sudah jadi wacana formal sejak lama," kata Yustinus.
Namun, ia sedikit menyayangkan aturan yang dinilainya masih terbatas soal terorisme. Menurutnya, jika akses diperluas hingga ke Direktorat Jenderal Pajak dan OJK, maka perbaikan bisa lebih menyeluruh.
"
Tax amnesty sebelumnya bisa dipastikan lebih mudah dilakukan jika ada data
beneficial ownership ini," katanya.
Ia menjelaskan, negara-negara di Eropa telah terlebih dahulu menerapkan aturan pemilik manfaat ini. Meski terbilang telat, ia berharap Indonesia nanti bisa menerapkannya sampai ke data identitas tunggal (
single identity).
Namun, ia menilai untuk bisa mengimplementasikan pada tahun depan, maka dibutuhkan beberapa turunan aturan lagi.
"Untuk 2018 kita belum siap saya kira. Sistem ini seharusnya integrasi antara OJK dan juga Direktorat Jenderal Pajak. Jadi perlu ada Perpres lagi untuk mengintegrasikan antar lembaga. Di pajak, pemilik manfaat masih masuk peraturan Dirjen, harusnya lebih luas," ungkapnya.
Senada, Maryati berharap data yang dikumpulkan tersebut nantinya bisa diakses oleh berbagai pihak, bahkan publik. Hal itu dinilainya menjadi bagian dari pembenahan korporasi di Indonesia.
"Kami berharap itu bisa dibuka oleh semua orang atau
public accessed. Kami berharap aturan itu lebih ke pembenahan korporasi. Kalau di beberapa negara seperti Inggris, kepemilikan manfaat itu punya penjelasan definisi sendiri," katanya.
Sementara dalam pasal 17 ayat 1 di draf Perpres tersebut, disebutkan bahwa setiap orang dapat meminta informasi pemilik manfaat kepada otoritas berwenang.
"Tata cara meminta informasi pemilik manfaat dari korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan informasi publik," tulis ayat 2 pasal tersebut.