Siasat Jokowi 'Menelanjangi' Korporasi dan Orang Tajir

Giras Pasopati | CNN Indonesia
Sabtu, 18 Nov 2017 10:32 WIB
Demi mencegah tindakan pencucian uang dan pendanaan terorisme, Joko Widodo bakal menerbitkan Peraturan Presiden untuk 'menelanjangi' korporasi.
Menariknya, industri dan asosiasi pengusaha yang terkait dengan draf Perpres ini mengaku tidak mengetahui dan mendapat sosialisasi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Menariknya, industri dan asosiasi pengusaha yang terkait dengan draf Perpres ini mengaku tidak mengetahui dan mendapat sosialisasi. Padahal, aturan tersebut bakal berdampak besar bagi industri, apalagi terkait sistemnya.

Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI), Hamdi Hassyarbaini mengaku, belum mengetahui rencana penerbitan Perpres tersebut. Namun, ia mengaku jika yang diatur hanya perusahaan di Indonesia, seharusnya lebih gampang.

"Saya belum tahu dan belum mendapat info juga. Tapi kalau yang diatur di Indonesia harusnya lebih gampang. Setahu saya kalau perusahaan dalam negeri harusnya sudah ada data di Kemenkumham," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, selama ini BEI sudah menerapkan pengawasan soal pemilik manfaat sejak lama, bahkan di tahap awal, yang dikenal dengan istilah Know Your Customer (KYC).

"Hal semacam itu sebenarnya sudah ada ya di BEI, bahkan dari mulai KYC. Di KYC kami malah kalau ada satu nasabah di luar negeri pakai omnibus (akun gabungan), kami bisa minta juga beneficial ownership-nya," katanya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Isakayoga juga mengaku belum mengetahui perihal rencana penerbitan Perpres itu. Ia mengaku, aturan serupa sebenarnya sudah ada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).


"Saya belum tahu. Kalau di OJK sudah lama, kalau tidak salah kalau dari Bapepam sudah ada. Saya kira bagus bagus saja ya. Itu tidak menyimpang dari aturan PT (Perseroan Terbatas)," ujarnya.

Isakayoga menilai rencana penerbitan Perpres itu merupakan konsekuensi dari dimulainya keterbukaan informasi pada tahun depan. Ia berharap, pengawasannya bisa lebih dan dan jelas.

"Dana kemana saja bisa dilihat. Bisa untuk menahan yang bebas pajak. Yayasan juga harus melapor. Saat ini sistem pengawasannya harus lebih diperhatikan. Karena itu dalam peraturan juga harus ada kejelasannya," katanya.

Dalam draf Perpres, disebutkan korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai pemilik manfaat sebagaimana dimaksud, kepada otoritas berwenang.

Kemudian, penyampaian informasi sebagaimana dimaksud disertai dengan surat pernyataan dari korporasi mengenai kebenaran informasi yang disampaikan kepada otoritas berwenang.

Dalam hal diperlukan, otoritas berwenang dapat melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dengan meneliti kesesuaian antara informasi pemilik manfaat dengan dokumen pendukung.

"Korporasi wajib melakukan pengkinian informasi pemilik manfaat secara berkala setiap satu tahun," seperti tertulis dalam pasal 10.

Siasat Jokowi 'Menelanjangi' Korporasi dan Orang Tajir(CNN Indonesia/Safir Makki)

Aturan Diharap Meluas

Rencana penerbitan Perpres ini membuat angin segar berhembus ke perbaikan sistem keuangan. Jika Perpres ini jadi diterbitkan, maka diharapkan bisa memberi penerangan ke wilayah orang tajir yang selama ini 'remang-remang'.

"Sebagai salah satu terobosan sih bagus, karena aturan kepemilikan manfaat ini sudah jadi wacana formal sejak lama," kata Yustinus.

Namun, ia sedikit menyayangkan aturan yang dinilainya masih terbatas soal terorisme. Menurutnya, jika akses diperluas hingga ke Direktorat Jenderal Pajak dan OJK, maka perbaikan bisa lebih menyeluruh.

"Tax amnesty sebelumnya bisa dipastikan lebih mudah dilakukan jika ada data beneficial ownership ini," katanya.

Ia menjelaskan, negara-negara di Eropa telah terlebih dahulu menerapkan aturan pemilik manfaat ini. Meski terbilang telat, ia berharap Indonesia nanti bisa menerapkannya sampai ke data identitas tunggal (single identity).

Namun, ia menilai untuk bisa mengimplementasikan pada tahun depan, maka dibutuhkan beberapa turunan aturan lagi.


"Untuk 2018 kita belum siap saya kira. Sistem ini seharusnya integrasi antara OJK dan juga Direktorat Jenderal Pajak. Jadi perlu ada Perpres lagi untuk mengintegrasikan antar lembaga. Di pajak, pemilik manfaat masih masuk peraturan Dirjen, harusnya lebih luas," ungkapnya.

Senada, Maryati berharap data yang dikumpulkan tersebut nantinya bisa diakses oleh berbagai pihak, bahkan publik. Hal itu dinilainya menjadi bagian dari pembenahan korporasi di Indonesia.

"Kami berharap itu bisa dibuka oleh semua orang atau public accessed. Kami berharap aturan itu lebih ke pembenahan korporasi. Kalau di beberapa negara seperti Inggris, kepemilikan manfaat itu punya penjelasan definisi sendiri," katanya.

Sementara dalam pasal 17 ayat 1 di draf Perpres tersebut, disebutkan bahwa setiap orang dapat meminta informasi pemilik manfaat kepada otoritas berwenang.

"Tata cara meminta informasi pemilik manfaat dari korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan informasi publik," tulis ayat 2 pasal tersebut. ​ (asa)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER