Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri BUMN Rini Soemarno mengusulkan PT Kereta Api Indonesia (KAI) tak menjadi investor pembangunan prasarana
Light Rapid Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) dan hanya berperan sebagai penyelenggara dan pengoperasian sarana. Usulan ini seiring kekhawatiran bakal terganggunya neraca keuangan KAI akibat bengkaknya biaya investasi proyek tersebut mencapai Rp4 triliun.
Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo menjelaskan, bengkaknya biaya investasi proyek LRT Jabodebek menjadi Rp31 trilun dapat memberatkan neraca keuangan KAI. Padahal, menurut dia, KAI memiliki berbagai proyek yang harus dikerjakan untuk meningkatkan layanan kereta api yang dibutuhkan masyarakat.
"Kalau biaya investasi Rp31 triliun kemudian bunga bank, misalnya sekitar 10 persen, itu beban investasi LRT sekitar Rp35 triliun. Ini kami khawatirkan bisa mengganggu neraca keuangan KAI padahal mereka ini banyak tugas lainnya," ujar Gatot kepada CNNIndonesia.com, Jumat (24/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencananya menurut dia, investasi LRT akan dipenuhi dari pinjaman perbankan sekitar 70 persen. Namun, investasi tersebut juga tetap membutuhkan dana internal KAI. Diakui Gatot, KAI memang telah mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp2 trilun dan berencana mendapatkan PMN lagi tahun ini sebesar Rp3,6 trilun tahun depan.
"Tapi PMN ini kemungkinan baru masuk di Desember 2018. Sampai tahun depan, KAI harus utang sekitar Rp20 triliun, ini memberatkan mereka. Kami ingin tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mereka memberikan layanan kereta jangan sampai terganggu," jelas Gatot.
Gatot menjelaskan, KAI tetap bisa menjadi investor sepanjang biaya investasi tetap sesuai hitungan sebelumnya sebesar Rp26,7 triliun. Opsi lain, menurut Gatot, ada investor lain yang juga ikut membiayai proyek tersebut sehingga beban berat tidak hanya berada di pundak KAI sendiri.
"Tapi begini, KAI sebenarnya bisa tetap sebagai investor dengan nilai proyek yang membuat
balance sheet mereka sehat (nilai proyek tetap Rp26,7 triliun). Kami tidak bisa kalau proyeknya naik terus, tapi kalau masih yang lama, KAI bisa jadi investor," terang Gatot.
Tak hanya KAI, pihaknya juga tengah meminta Adhi Karya mempelajari skema bisnis LRT Jabodebek dengan adanya pembengkakan kebutuhan investasi tersebut.
"Adhi Karya memang bisa jadi salah satu investor karena dia dapat PMN juga untuk LRT, tidak hanya sebagai kontraktor atau memang bisa juga menambah investor lain," terang dia.
Keputusan batal tidaknya KAI sebagai investor menurut Gatot, belum final. Hal ini menurut dia, masih akan dibahas dalam rapat di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman pekan depan.
"Minggu depan akan ada rapat lagi, sambil Kami coba cari opsi-opsi terbaik. Kami sudah minta Adhi Karya mencari solusi," ungkapnya.
Pada awalnya, anggaran LRT Jabodebek diperkirakan mencapai Rp27 triliun, yang terbagi atas Rp24 triliun untuk pengadaan prasarana dan Rp3 triliun lainnya untuk sarana. Sebagai kontraktor, PT Adhi Karya (Persero) dan KAI menanggung kebutuhan anggaran sebesar Rp8 triliun dan sisanya, Rp19 triliun akan disediakan oleh sindikasi perbankan.
Namun, pada rapat di Kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman, nilai investasi proyek LRT Jabodebek diperkirakan membengkak Rp4 triliun dari Rp27 triliun menjadi Rp31 triliun.
Kenaikan biaya investasi ini disebabkan oleh perubahan teknologi sinyal kereta menjadi moving block. Adapun, moving block adalah sistem di mana sinyal rel kereta diatur melalui komputerisasi.
Tak hanya itu, rencana jumlah stasiun pun akan ditambah. Meski demikian, tambahan investasi ini sangat berguna untuk menambah pendapatan proyek LRT. Jumlah penumpang yang bisa diangkut per harinya nantinya naik menjadi 430 ribu dari sebelumnya 260 ribu penumpang per hari.
(lav/bir)