Pola Belanja Geser ke Online, Pajak Kurir dan Gudang Meroket

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Selasa, 28 Nov 2017 14:37 WIB
Menkeu menyebut, sumbangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPh final, dan PPh pasal 23 dari aktivitas jasa kurir meningkat 35,58 persen secara tahunan.
Menkeu menyebut, sumbangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPh final, dan PPh pasal 23 dari aktivitas jasa kurir meningkat 35,58 persen secara tahunan. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pergeseran pola belanja masyarakat dari konvensional ke digital telah memengaruhi komposisi penerimaan pajak. Di satu sisi, pergeseran belanja offline ke online menekan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dari sewa toko.

Sebagai bukti, pertumbuhan PPh dari sewa toko hingga Oktober 2017 melambat, hanya tumbuh 5 persen menjadi kurang dari Rp43 miliar. Padahal, pertumbuhan PPh di tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai 35 persen.

Namun, di sisi lain, Sri Mulyani melanjutkan, kontribusi pajak dari pergudangan dan jasa kurir meningkat drastis. Data yang dikantonginya menyebutkan bahwa sumbangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPh final, dan PPh pasal 23 dari aktivitas jasa kurir meningkat 35,58 persen secara tahunan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak Januari-Oktober 2017, sumbangan pajak dari PPN, PPh final, dan PPh sebesar Rp224,97 miliar. Sementara itu, PPN dan PPh final dari aktivitas sewa pergudangan justru naik 16,85 persen secara tahunan dan kini realisasi mencapai Rp522,57 miliar antara Januari hingga Oktober.

“Dari penerimaan pajak, yang menjadi proxy fenomena digitalisasi menggambarkan kenaikan yg sangat kuat. Penerimaan pajak yang ada hubungannya dengan ekonomi digital ,baik dari jasa kurir maupun pergudangan naik cukup besar. Orang tidak mungkin membayarkan pajak kalau tidak ada keuntungan,” terang Sri Mulyani, Selasa (28/11).

Namun demikian, ia menyangsikan jika saat ini data mengenai kontribusi ekonomi digital terhadap pertumbuhan ekonomi telah menangkap seluruh kegiatan ekonomi digital yang ada di dalam negeri.

Adapun berdasarkan data yang dimilikinya, kontribusi ekonomi digital hanya dianggap 7,3 persen dari PDB. Sementara itu, konsumen belanja daring (e-commerce) dianggap hanya 9 persen dari total populasi Indonesia. Padahal, menurut dia, angka tersebut seharusnya bisa lebih besar lagi.

“Saya rasa, angka ini masih underestimate (dibawah perkiraan), karena data yang disediakan Badan Pusat Statistik (BPS) ini update-nya tidak terlalu cepat sehingga banyak yang belum tertangkap,” ungkapnya.

Melihat fenomena ini, ia mengatakan bahwa pelaku usaha ritel harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Apalagi, belanja daring ke depan diprediksi akan semakin marak setelah melihat piramida penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh penduduk usia muda.

Menurut Sri Mulyani, saat ini, memang kelompok usia tua masih memegang kendali daya beli, namun daya beli tersebut dikendalikan oleh anak-anak mereka yang sebagian besar sudah melek teknologi informasi. Makanya, peluang ini seharusnya tak boleh dilewatkan oleh pelaku usaha ritel konvensional.

“Sekarang, generasi tua memang masih memegang daya beli. Tapi, kebanyakan mereka kalau pergi ke mal, tidak mau sendiri. Selalu dengan anak-anak atau cucu mereka. Tapi, sekarang kan senangnya pada pakai aplikasi online untuk belanja. It’s a business shift,” imbuhnya. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER