Jakarta, CNN Indonesia -- Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) boleh saja disebut perkasa sepanjang tahun 2017 dengan rekor tertinggi yang beberapa kali ditorehkan hingga akhir tahun.
Sayangnya, hal ini tidak dibarengi oleh seluruh pergerakan seluruh harga saham emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Data BEI menunjukan, sebanyak 233 saham dari total 570 emiten melemah bila dilihat secara tahunan (
year on year/yoy). Sementara, 45 saham bergerak stagnan dan 292 saham menguat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rata-rata saham yang melemah pada tahun 2017 merupakan saham lapis kedua (
second liner) dan lapis kedua (
third liner). Beberapa saham tersebut, misalnya, PT Polaris Investama Tbk (PLAS), PT Capitol Nusantara Indonesia Tbk (CANI), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), dan PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI).
Dalam hal ini, Polaris Investama menjadi emiten dengan kinerja saham paling buruk tahun 2017 dengan pelemahan 87,68 persen ke level Rp50 per saham dibandingkan dengan akhir tahun 2016 yang masih berada di level Rp406 per saham.
Kemudian, Capitol Nusantara Indonesia mengikuti jejak Polaris Investama pada urutan kedua. Harga saham perusahaan anjlok 84,6 persen dari Rp1.740 per saham pada 30 Desember 2016 menjadi Rp268 per saham pada 29 Desember 2017.
"Polaris Investama dan Capitol Nusantara Indonesia ini masih menghasilkan rugi bersih selama beberapa tahun terakhir," ujar analis Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama kepada
CNNIndonesia.com, dikutip Selasa (2/1).
 (CNN Indonesia/Fajrian) |
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan di BEI, keduanya memang mencatatkan rugi bersih hingga kuartal III 2017. Bahkan, jumlah kerugian yang diderita perusahaan semakin meningkat jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016.
Contohnya, Polaris Investama membukukan rugi bersih pada kuartal III 2017 sebesar Rp12,2 miliar, naik 1.419 persen dari sebelumnya Rp803,4 juta.
Kemudian, rugi bersih Capitol Nusantara Indonesia lebih tinggi 4,08 persen menjadi RpUS$1,53 juta dibandingkan dengan sebelumnya US$1,47 juta.
"Jadi memang memerlukan komitmen yang kuat untuk meningkatkan kinerja perusahaan ke depannya," kata Nafan.
Senada, analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra mengemukakan, penyebab lainnya harga saham dari sekitar 233 saham tersebut turun karena minim aksi korporasi.
"233 saham ini tersebar di beberapa sektor, sektor tersebut secara kondisi bisnis dan finansial kurang mendukung," ucap Aditya.
Maka dari itu, kenaikan IHSG sebenarnya lebih ditopang oleh saham emiten berkapitalisasi besar (
big capitalization/big caps), khususnya emiten di sektor perbankan.
"Sektor perbankan dalam tiga tahun terakhir
underperform, jadi tahun ini membayar kegagalan tahun-tahun sebelumnya," papar Aditya.
Dengan kata lain, performa saham emiten perbankan berada di bawah kinerja IHSG selama tiga tahun terakhir.
Emiten perbankan yang menjadi penopang IHSG sepanjang tahun 2017, diantaranya PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang naik 41,29 persen, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) tumbuh 55,89 persen, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) meningkat 38,23 persen, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) naik 79,19 persen.
"Pertumbuhan ini sejalan dengan antusiasme menyambut pertumbuhan tahun 2018 di mana sektor perbankan akan menggenjot kredit lebih baik lagi," jelas Aditya.
 (CNN Indonesia/Fajrian) |
Seperti diketahui, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 mencapai 5,4 persen. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution optimis ekonomi akan semakin tumbuh 0,1 persen ditopang oleh momen 171 pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2018.
"Jadi bertambah pertumbuhannya karena pengeluaran baliho, kaos, dan sebagainya. Jangan-jangan kenaikannya bukan 0,1 persen tapi lebih tinggi," ucap Darmin pada bulan November tahun 2017 kemarin.
Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan penyaluran kredit lebih tinggi, pelaku pasar pun terus melakukan aksi beli terhadap saham emiten perbankan. Padahal, harga saham keempatnya bisa dikatakan sudah mahal.
"Biasanya rata-rata bank buku empat di-
trading-kan di atas 3x
book value, kalau bank buku tiga masih ada yang sekitar 1x
book value," jelas Aditya.
Selain perbankan, emiten
big caps lainnya yang mendorong kenaikan IHSG berasal dari sektor barang konsumsi, diantaranya PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM).
Bila diakumulasi secara tahunan, harga saham HMSP tumbuh 23,5 persen ke level Rp4.730 per saham, Unilever Indonesia naik 44,07 persen ke level Rp55.900 per saham, dan Gudang Garam menanjak 31,14 persen dengan berakhir di level Rp83.800 per saham.
"Ini karena produk yang mereka harganya naik juga tetap dibeli, misalnya rokok harga naik orang tetap merokok dan begitu juga kebutuhan mandi," kata Aditya.
Meski secara rata-rata emiten
big caps yang menopang kinerja IHSG, tapi nyatanya delapan dari 10 besar kinerja saham terbaik diisi oleh saham emiten yang baru melakukan penawaran umum saham perdana (
Initial Public Offering/IPO) pada tahun 2017.
Delapan emiten tersebut, diantaranya PT Pelayaran Tamarin Samudra Tbk (TAMU), PT Marga Abhinaya Abadi Tbk (MABA), PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA), PT Totalindo Eka Persada Tbk (TOPS), dan PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC).
Selanjutnya, PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS), PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO), dan PT Mark Dynamics Indonesia Tbk (MARK).
Tak tanggung-tanggung, harga saham Pelayaran Tamarin Samudra melompat hingga 3.154 persen ke level Rp3.580 per saham. Padahal, harga saham perusahaan saat IPO pada 10 Mei 2017 masih berada di level Rp110 per saham.
Kemudian, harga saham Marga Abhinaya Abadi melonjak 2.430 persen ke level Rp1.200 per saham, Sanurhasta Mitra naik 1.766 persen ke level Rp1.960 per saham, Totalindo Eka Persada tumbuh 1.054 persen ke level Rp3.580 per saham, dan Kapuas Prima Coal meningkat 964 persen menjadi Rp1.490 per saham.
Kemudian, harga saham Kioson Komersial Indonesia menanjak 883 persen ke level Rp2.950 per saham, Sariguna Primatirta naik 556 persen ke level Rp755 per saham, dan harga saham Mark Dynamics Indonesia berakhir di level Rp1.600 per saham atau tumbuh 540 persen.
Menurut Nafan, perusahaan yang baru melakukan IPO memiliki daya tarik tersendiri di hati pelaku pasar. Maka dari itu, aksi beli terus dilakukan oleh pelaku pasar terhadap saham tersebut.
"Pelaku pasar lebih tertarik melihat prospek bisnis emiten tersebut, apalagi jika hasil penggunaan dana dari IPO tersebut adalah dalam rangka ekspansi bisnis," papar Nafan.
 (CNN Indonesia/Fajrian) |
Sayangnya, entitas dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang IPO tidak termasuk dalam delapan emiten tersebut. Nafan berpendapat, pelaku pasar masih perlu melihat lagi prospek bisnis dari anak BUMN yang tahun 2017 kemarin mencatatkan sahamnya di BEI.
"Jadi perlu memberikan keyakinan terhadap pelaku pasar, apalagi pelaku pasar asing jika prospek anak BUMN memang benar-benar prospektif," ucap Nafan.
Pada tahun lalu, BEI memang memiliki empat tamu baru dari anak BUMN, antara lain PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI), PT PP Presisi Tbk (PPRE), PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WEGE), dan PT Jasa Armada Indonesia Tbk (IPCM).
Di sisi lain, Aditya menilai, kenaikan harga saham yang baru saja melantai di BEI hanya disebabkan "market maker". Artinya, ada pelaku pasar yang berusaha menguasai saham emiten yang baru IPO tersebut untuk menguasai harga pasar.
"Jadi karena yang punya saham itu sebenarnya sedikit, jadi pelaku pasar yang memilikinya bisa memainkan harga saham seenaknya," terang Aditya.
Dengan demikian, Aditya tak yakin jika pelaku pasar membeli saham yang baru saja IPO hanya karena melihat prospek dari bisnis emiten tersebut.
"Fundamentalnya sendiri belum tentu bagus," tutup Aditya.