Jakarta, CNN Indonesia -- Di era digital saat ini, perubahan terjadi di berbagai lini kehidupan, termasuk dalam sektor keuangan. Jika selama ini masyarakat hanya tahu skema investasi konvensional seperti deposito, reksa dana, saham, emas, atau menaruh uang di bawah bantal, kini variasi investasi jadi lebih beragam berkat perkembangan teknologi.
Kemunculan perusahaan teknologi finansial (financial technology/Fintech) menjadi tolak ukur metamorfosa ekosistem keuangan dunia. Tak pelak, beragam investasi alternatif pun muncul. Dari berbagai jenis yang hadir, skema investasi alternatif yang paling ramai dibicarakan '
kids zaman now' ialah skema
peer to peer lending (P2PL).
Layaknya biro jodoh, perusahaan Fintech P2PL mempertemukan investor selaku pemberi pinjaman (
lender) dengan pelaku usaha sebagai penerima pinjaman dana (
borrower). Nantinya,
lender mengalirkan sejumlah dana dalam jangka waktu tertentu kepada
borrower yang akan menggunakan dana untuk aktivitas usaha. Bukan cuma-cuma, investor akan memperoleh imbal hasil dari kegiatan usaha peminjam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi masyarakat yang bingung memilih kantong investasi, menjadi investor dalam skema P2PL ini tampaknya merupakan pilihan alternatif yang bijaksana, di tengah minimnya bunga deposito yang disediakan perusahaan perbankan.
Direktur Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) M Ajisatria Suleiman menyebutkan, berinvestasi pada skema P2PL memiliki keuntungan sosial dan keuntungan pribadi.
Dari sisi sosial, investor dalam skema P2PL dapat mengalirkan dananya langsung ke pelaku usaha kecil dan menengah yang memang membutuhkan modal kerja, sehingga dapat menggerakkan industri riil. Berbeda dengan produk investasi konvensional yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh korporasi besar.
"Secara finansial pribadi, imbal hasil skema P2PL tentu lebih besar dibandingkan bunga dari deposito atau reksa dana," katanya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (6/1).
Soal risiko, skema P2PL tentu memiliki risiko gagal bayar yang tidak sedikit, karena modal diputar untuk modal usaha kecil dan menengah yang cukup berisiko. Makanya, investor perlu cerdik menerapkan strategi dalam menaruh dananya di skema alternatif baru ini.
Langkah pertama yang harus dilakukan investor ketika ingin memulai berinvestasi dalam skema P2PL ialah, mencari dan memilih perusahaan fintech yang berkualitas dan sudah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selanjutnya, investor perlu menyiapkan sejumlah uang yang telah disisihkan dari penghasilannya sebagai dana investasi alternatif. Ingat, investasi di P2PL sebaiknya tak digunakan sebagai portofolio utama, melainkan hanya instrumen alternatif untuk menggelembungkan pundi-pundi.
Tahap yang tak kalah penting, investor perlu menyiapkan strategi investasi. Dalam skema P2PL, investor disarankan membagi sejumlah dananya ke banyak kantong produk yang memiliki profil variatif. Diversifikasi diperlukan untuk mengantisipasi risiko kehilangan dana akibat gagal bayar.
"Intinya, jangan menaruh hanya di satu kantong investasi, tapi diversifikasi lebih banyak, paling tidak lima atau 10 produk, karena adanya risiko gagal bayar, jadi diversifikasi harus jadi inti memitigasi risiko," ungkapnya.
Pemberi modal juga harus memahami profil risikonya dalam berinvestasi dan menyesuaikan profil itu dengan instrumen investasi yang ada. Misalnya, untuk investor yang memiliki profil risiko rendah, sebaiknya pilih untuk memberi pinjaman kepada pihak yang memberi jaminan utang, meski bunga yang diperoleh oleh investor akan relatif lebih kecil.
Sebaliknya, investor dengan profil risiko utang tinggi bisa memilih beragam produk tanpa harus memperhatikan basis penjaminan. Biasanya, tingkat bunga yang diperoleh akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk berjaminan.
"Lihat profil risikonya agresif atau konvensional, lalu sesuaikan dengan produknya," tuturnya.
Dalam produk investasi P2PL, ia menambahkan, ada pinjaman dengan jaminan invoice yang dinilai paling aman karena potensi gagal bayar yang sangat rendah, pinjaman dengan jaminan tertentu yang berpotensi gagal bayar sedang, serta pinjaman tanpa jaminan yang tentu berpotensi gagal bayar tinggi.
Hal paling utama dalam berinvestasi ialah menyiapkan mental yang kuat untuk menghadapi risiko. Sehingga, apabila terjadi 'kecelakaan' dalam berinvestasi, investor mampu menghadapinya dengan sikap yang cemerlang. Selamat menggemukkan kantong.
(bir)