Jakarta, CNN Indonesia -- Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (
Walhi) terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (
ESDM)
Ignasius Jonan dan PT Mantimin Coal Mining (MCM) terkait izin tambang batu bara akhirnya ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Alasannya, karena dianggap masuk ranah hukum perdata.
Gugatan dalam perkara nomor 47/G/LH/2018/PTUN-JKT yang dilayangkan delapan bulan lalu ini akhirnya ditolak oleh PTUN Jakarta pada Senin (22/10) kemarin.
Secara rinci, gugatan terkait terbitnya Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) untuk PT Mantimin Coal Mining menjadi Tahap Kegiatan Operasi Produksi di Kabupaten Balangan, Tabalong dan Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan keterangan Walhi sebelumnya, gugatan dilayangkan karena izin kegiatan tambang batu bara yang dilakukan perusahaan dianggap bakal mengancam kelestarian lingkungan dan sumber penghidupan masyarakat.
"Kami sangat menyesalkan putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta, terlebih setelah melalui proses persidangan lebih dari delapan bulan. Putusan ini menciderai masyarakat Kalimantan Selatan yang mayoritas menolak izin tambang batubara, dan sekaligus menciderai upaya penegakan hukum lingkungan di Indonesia", ujar Direktur Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (23/10).
Majelis Hakim PTUN Jakarta yang terdiri dari Hakim Ketua Sutiyono dan Hakim Anggota Joko Setiono dan Nasrifal memutuskan gugatan Walhi tidak diterima
(Niet Ontvankelijke Verklaard/NO). Majelis Hakim menilai bahwa PTUN Jakarta tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut. Pasalnya, kontrak karya terkait dengan perjanjian antara pemerintah dan MCM berada dalam ranah hukum perdata.
Di sisi lain, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi Khalisah Khalid menilai perizinan yang diterbitkan pemerintah seharusnya menjadi kewenangan bagi PTUN untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan perkara tersebut. Walhi juga juga menyesalkan dasar pertimbangan Majelis Hakim yang meletakkan entitas negara setara dengan entitas korporasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Khalisah menyatakan Walhi akan melakukan banding.
"Upaya banding yang akan ditempuh oleh Walhi untuk membuktikan bahwa penilaian PTUN Jakarta terkait dengan kewenangannya tersebut adalah keliru," ujar Khalisah.
Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK) Rumli juga menyatakan kekecewaannya atas putusan Majelis Hakim tersebut.
"Kami sangat kecewa dengan putusan ini dan akan tetap berjuang untuk penyelamatan meratus dengan semboyan rakyat Kalimantan Selatan Waja sampai Kaputing, tetap bersemangat dan kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir," ujar Rumli.
Dalam keterangan resmi, Walhi menilai Majelis Hakim mengabaikan fakta persidangan yang telah disampaikan oleh penggugat baik di PTUN maupun pemeriksaan setempat (PS) yang dilaksanakan di desa Nateh Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan.
Selama sidang setempat, Walhi menilai penggugat dan masyarakat bisa memperlihatkan kondisi lingkungan dan masyarakat yang hidup di daerah yang akan terkena dampak pertambangan. Masyarakat bisa hidup tanpa ada pertambangan dan alam terjaga dengan baik yang terancam apabila dilakukan penambangan batubara.
Selain itu, daerah pertambangan juga bagian dari Daerah Aliran Sungai Batang Alai yang sedang dibangun daerah irigasi Batang Alai yang merupakan salah satu proyek nasional ketahanan pangan. Terlebih Desa Nateh juga mendapatkan SK Hutan Desa dari Presiden langsung.
Izin yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, menurut Walhi, bertentangan dengan semangat Presiden Joko Widodo untuk mengakui dan melindungi pengelolaan hutan oleh masyarakat. Tak hanya itu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan benteng terakhir atau rimba terakhir Kalimantan Selatan yang harus diselematkan dari ancaman daya rusak industri tambang batubara.
Menurut Walhi, jika Majelis Hakim sudah menilai mengenai kewenangan absolut seharusnya pengadilan dalam tahap pemeriksaan awal menetapkan bahwa gugatan bukan kewenangan TUN. Proses pembuktian materiil menjadi sia-sia, jika akhirnya Majelis Hakim memutus NO yang dalam hal ini bertentangan dengan asas peradilan mudah, cepat dan murah.
Lebih lanjut, Walhi mendorong dibentuknya pengadilan lingkungan hidup, yang diharapkan mampu menyelesaikan perkara lingkungan hidup secara berkeadilan, baik bagi rakyat maupun bagi lingkungan hidup. Hal itu seiring semakin massifnya kerusakan ekologis akibat kejahatan korporasi melalui perizinan di satu sisi, dan di sisi yang lain pengadilan umum gagal melihat perkara kejahatan lingkungan sebagai kejahatan luar biasa.
Pemerintah Angkat BicaraSecara terpisah, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengungkapkan pihaknya tidak mengikuti perkembangan gugatan yang dilayangkan oleh Walhi tersebut.
"Saya tidak mengikuti tetapi merupakan hak semua orang untuk melayangkan gugatan seperti itu," ujarnya.
Namun, menurut Agung, sejak awal gugatan tersebut tidak tepat. Pasalnya, masalah perjanjian kontrak merupakan ranah hukum perdata.
Terkait terbitnya Keputusan Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017, Agung menjelaskan hal itu hanya persoalan administrasi di mana satu perusahaan tidak bisa memiliki dua status untuk eksplorasi dan eksploitasi. Sepengetahuan Agung, blok yang dipermasalahkan adalah blok yang hingga kini masih dalam status eksplorasi di Blok Batu Tangga, Batang Alai Timur, Hulu Sungat Tengah.
Kendati demikian, Agung mengingatkan bahwa perusahaan memiliki beberapa blok tambang. Blok tambang yang masih berstatus eksplorasi tidak akan bisa ditingkatkan statusnya menjadi blok produksi tanpa mengantongi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
"Kalau pemerintah daerah tidak memberikan izin Amdal, tidak akan naik status blok itu menjadi eksplorasi," ujarnya.
(sfr/lav)